Pagi itu Kira mengetuk pintu kamar Kiara. Membawakannya sarapan. Kira Selalu menemukannya dalam posisi sama setiap kali dia membuka pintu itu.
Kiara duduk di sofa dekat jendela. Terpaku melihat ke luar. Seolah menunggu sesuatu yang tak pernah datang, atau seseorang yang tak pernah kembali.
"Kau benar-benar akan bertanding hari ini?" Kira duduk di samping Kiara bersama sepiring makanan di pangkuan.
"Hanya di sana kalian bisa melihatku benar-benar hidup."
Kira menunduk berusaha menelan air mata. Dia menaruh piring dari paha ke nakas samping sofa.
Kira bergeser lebih dekat menggenggam lengan Kiara yang semakin kurus.
"Kau terlalu muda ... dan terlalu amatir untuk mencintai seseorang hingga sedalam itu." Suara Kira bergetar, lalu ia menambahkan dengan lebih pelan. "Seharusnya aku tidak mendorongmu padanya."
Kiara menggeleng lemah. "Aku akan tetap jatuh cinta padanya."
Sunyi sejenak, suara Kiara kembali terdengar. Namun, kali ini lebih lembut, seolah bicara pada diri sendiri.
"Saat melihat mobil Kak Jisel berangkat, selama dua detik ... aku berpikir itu Papa yang berangkat kerja seperti biasa. Lalu, ketika kau mengetuk pintu kamarku setiap pagi, selama dua detik ... aku berpikir Mama yang datang mengingatkanku sarapan. Rasanya aku bisa mendengar detak jantungku. Benar-benar bisa mendegarnya. Aku bertahan dengan empat detik itu setiap hari. Dan itu cukup."
Kira semakin menunduk, menarik tangan Kiara ke pelukan.
"Kira," panggil Kiara menarik wajah Kira menghadapnya. "Beri aku waktu sebentar lagi. Aku akan kembali menjadi Kiara yang kalian kenal."
Kira mengangguk berulang kali. Dia akan menjadi orang yang paling yakin, bahkan melebihi keyakinan Kiara.
"Sekarang makanlah." Kira berpaling menatap meja nakas menghapus air mata, lalu kembali pada wajah Kiara bersama piring di sana.
"Aku akan mengantarmu ke klinik Kak Lia."
"Aku akan lari saja."
Seperginya Kiara, Kira masih terdiam di gerbang rumah menatap jalan kosong yang tak memperlihatkan tanda pernah dilewati Kiara.
Kira tidak bermaksud mengenang, tetapi dia tiba-tiba teringat masa lalu itu.
Linangan air di mata merah Kira kian merebak ketika ayahnya menarik lengannya seakan dia kambing yang terus-terusan melawan arahan penggembala.
Tangan Kira dilepaskan secara kasar di depan sang ibu, di ruang tengah. Kira tidak serta-merta menghampiri ibunya yang berdiri terkejut. Dia diam di tempat.
"Apa saja yang kau lakukan? Kenapa tidak pernah mengawasinya? Aku bertemu dengannya di hotel, tidak sendirian. Masih SMA sudah berani ke hotel, mau jadi apa dia nanti? Jadi seperti ibunya?" sentak Mario pada istrinya.
Fina menahan diri. Terbiasa dengan kebiasaan Mario yang selalu mengungkit kesalahan orang lain bahkan meski sudah bertahun-tahun berlalu, tanpa ingat kesalahannya sendiri kemarin.
"Akira, pergi ke kamarmu!" perintah Fina.