"Aku merasakan banyak ketakutan akhir-akhir ini—tidak—" Jisela memotong perkataannya sendiri. "Dari dulu aku memang selalu ketakutan, tapi sekarang semakin tak tertahankan." Tangan Jisela terlipat di meja makan di rumah Irene. Memandang bagian tengah bidang meja itu, namun tatapannya seakan tidak di sana.
Irene memperhatikan wajah Jisela seakan tak ingin melewatkan sedikit pun perubahan ekspresinya. "Dari dulu?" Bola mata Irene bergulir ke kanan atas. "Dari SMA, kuliah, sampai sekarang, aku selalu melihatmu sebagai orang yang tenang." Irene mengangguk-angguk yakin. "Kau tidak terlihat seperti orang tertekan ketakutan. Wajah diammu mungkin terlihat galak, tapi kau tidak pernah impulsif. Orang yang ketakutan atau cemas biasanya sangat impulsif dan mudah terganggu dengan orang lain."
Jisela tersenyum. "Begitukah?" Merasa bangga, juga kasihan pada dirinya sendiri.
"Apa yang kau takutkan?"
"Banyak sekali. Tapi, sejak orang tuaku meninggal, aku paling takut saat harus berhadapan dengan adik-adikku, dan seluruh keluargaku. Aku semakin sering berinteraksi dengan mereka, karena orang tuaku sudah meninggal, dan aku yang tertua di antara ketiga adikku, juga pemimpin Glicefood. Aku harus pulang ke rumah, karena merasa sekarang tanggung jawabku untuk mengawasi ketiga adikku. Di kantor ada Jeffi, Dona, dan Paman Marcel. Menghadapi mereka terasa sangat melelahkan. Rasanya aku seperti merasa bersalah, menyesal, marah, dan takut di saat bersamaan, terutama pada ketiga adikku."
Melihat air muka Jisela yang terlihat masih ingin mengungkapkan isi hati, Irene mendengarkan tanpa suara.
"Aku takut membuat mereka terlalu sakit hati, aku takut dibuang, sebenarnya aku sangat takut tidak dipedulikan lagi. Namun, rasa bersalah dan menyesal karena bersikap tidak cukup baik membuatku kewalahan. Aku tidak mau sisi lemahku terlihat. Mungkin untuk tetap menyembunyikan itu, aku merespon dengan kemarahan, yang pada akhirnya membuatku merasa tidak cukup baik. Aku tidak ingin mereka terlalu dekat, tapi aku juga tidak ingin ditinggalkan."
"Kau bisa merasa begitu, mungkin karena sebelumnya jarang berinteraksi dengan mereka. Lakukan sedikit demi sedikit. Tidak masalah menunjukkan rasa sakit dan kesedihanmu, terutama pada ketiga adikmu. Sepertimu yang kesulitan memahami mereka, mungkin mereka juga tidak bisa memahamimu sepenuhnya, karena kalian tidak pernah berbagi isi hati masing-masing."
Jisela mengangguki, membenarkan. Dia memang jarang bicara atau berinteraksi dengan adik-adiknya. Tepatnya, Jisela memang menghindari interaksi itu. Menjalin terlalu banyak pertalian hanya akan membuat hatinya terlalu terikat dan sesak. Hanya orang-orang dianggap dekat yang bisa melukai. Itu berarti hubunganlah yang membawa sakit hati.
"Aku merasa bersalah pada kedua orang tuaku. Saat teringat masa lalu, kadang aku merasa membenci mereka. Kenapa aku begitu? Aku tidak ingin begitu, tapi rasa benci itu selalu datang. Aku sangat butuh pelampiasan, tapi aku tidak bisa minum kopi lagi, karena hanya akan mengingatkanku pada kecelakaan itu dan mengingatkanku pada ibuku. Aku susah tidur, pikiranku tidak pernah berhenti bicara. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memaksa diriku tidur dengan obat tidur."
Ketika malam semakin diselimuti semilir angin, mobil berkecepatan sedang Jisela menembus memasuki area mansion Bumantara.
Dengusan Jisela terdengar lebih kuat dari angin. Tepat ketika melihat mobil lain yang terparkir di halaman rumahnya, kini di samping mobilnya yang berhenti. Itu mobil kakeknya, yang selalu dikendarai orang lain.
Jisela masuk ke rumah bersama map coklat dalam pelukan tangan kirinya.
Menahan dengusan lain yang memaksa menghentak ketika sepatunya sampai di ruang tamu, dan menemukan neneknya. Bukan neneknya yang menyebabkan hembusan napas beratnya hampir mencuat, tetapi alasan di balik kehadiran nenek dari pihak sang ayah itulah biangnya.
"Jisela ...."
Jisela duduk di samping neneknya melihat isyarat permintaannya, serupa dengan Relia dan Kira yang sejak tadi juga di sofa.
"Kau pasti sangat kelelahan."
Menatap mata neneknya memang sangat meneduhkan. Jisela seperti melihat tatapan ibunya di sana, sangat lembut dengan banyak kasih sayang.
"Rumah ini luas sekali, tapi hanya ada kalian berempat dan beberapa pembantu di sini."
Here we go, Jisela. Baru mendengar awalan itu, Jisela sebenarnya sudah tidak ingin mendengar kelanjutannya.
"Menurutmu, bagaimana kalau kakakmu tinggal di sini?"
Jisela tidak mungkin langsung menolak, meskipun itu merupakan satu respon jelas yang akan dia utarakan andai tiadanya pertimbangan mendalam atau perenungan aspek kesantunan.
"Aku tidak bisa memutuskan sendiri, Oma. Ada Relia, Kira, dan Kiara yang juga tinggal di sini." Ini diskusi yang sia-sia, Jeffi pasti akan tinggal di sini.
Relia menatap sekilas kakak sulungnya dalam diam, dapat melihat jelas apa yang sebenarnya Jisela inginkan, dan seperti sebuah kewajiban bagi Relia untuk mewujudkan kepuasan hatinya.
"Menurutku itu tidak masalah. Lagi pula ada banyak ruang di sini."
Jisela tidak heran atas jawaban itu. Relia memang akan selalu berusaha bertentangan dengannya, tapi dia harap Kira akan berpandangan lain dengan Relia dan menolak keinginan nenek mereka. Setidaknya Jisela harus mendapat satu suara yang mendukung keinginan terselubungnya.
"Asalkan Kak Jeffi tidak berbuat aneh-aneh, aku juga setuju, Oma. Tapi, Oma harus mempertegas aturannya ke Kak Jeffi."