Di taman yang orang-orang sebut amour corner itu, Jisela berjalan cepat, mengarahkan pandangannya cukup pada arah dia menuju. Selain hijau dari daun-daun dan rerumputan, dia banyak melihat tangan-tangan bergandengan.
Jisela mulai merasa biasa dengan segala suasana penuh keromantisan pasangan-pasangan di sana. Langkahnya terarah lebih santai.
Tidak ada hal menarik, sampai saat kelopaknya menyipit, dan kembali semakin lebar, disusul langkahnya semakin pelan, lalu berhenti.
Kedua mata Jisela melihat dengan jelas, paper bag berisi manisan buah yang dia bawa sedikit turun mengikuti kekuatan lengannya melemah.
Seakan melupakan dunia sekitarnya. Dalam mata bening Jisela yang semakin berkilap berlapis air mata, hanya ada dua orang yang begitu menikam hatinya.
Tanpa sedikit saja upaya, kedua mata Jisela memanas sebagaimana hatinya. Ini bahkan lebih menyakitkan daripada saat dia melihat ibunya tersenyum pada pria lain melalui layar ponsel.
Tali paper bag itu tergenggam kuat dalam tangan Jisela, sebagaimana napasnya tertahan.
Akhirnya, dia bertemu mata dengannya.
"Jisela ...."
Jisela menghembuskan napas, tak kuat menahan lebih lama. "Wahhh, maaf, aku pasti mengganggu kalian." Senyum Jisela terlihat sangat jelas bahwa itu senyum sarat luka dan kecewa.
"Jisela, ini tidak seperti yang kau bayangkan. Jangan berpikiran macam-macam."
"Aku sudah melihatnya, Papa, dan tidak bisa mengendalikan pikiranku. Kenapa Papa tega sekali melakukannya? Dengan wanita itu?" Jisela menghapus air mata yang mengalir tanpa persetujuannya. Terasa begitu mengoyak saat orang yang dia percaya setia, justru berbuat hal lebih parah.
Jisela menatap pada seorang wanita yang agak jauh darinya, hanya Mario yang kini berhadapan dengannya. Jisela kenal betul wanita itu, itu bukan orang tak dikenal, Jisela mengenalnya, seluruh keluarganya mengenalnya.
Mario menarik putri sulungnya ke tempat lebih sepi. "Jangan bilang apa-apa ke Mama. Ini bukan apa-apa. Ini hanya——"
"Papa melakukannya, dengan ibunya Kak Jeffi? Apa kurangnya Mama, Pa? Apa Papa tidak sadar kalau Papa sudah sangat jahat ke Mama? Apa yang dimiliki Bi Hani dan tidak ada pada Mama?"
"Jisela——"
"Sudah sangat lama Papa melakukannya? Apa karena ini Papa membawa Kak Jeffi ke rumah? Karena dia hasil dari——"
Suara Jisela terpotong oleh tamparan ayahnya. Itu tidak terlalu keras, mungkin ayahnya sangat mencoba menahan diri. Namun, itu tetap saja sebuah tamparan yang tak terhingga rasa sakitnya, karena berasal dari ayahnya, yang sangat dia percaya, seseorang yang Jisela kira sangat setia, dan selalu menjadi korban pengkhianatan ibunya. Ternyata ayahnya melakukan lebih daripada ibunya.
"Apa kau tidak sadar kau sudah sangat keterlaluan? Memangnya apa yang sudah Papa lakukan? Kau ke sini dengan siapa? Sekarang, pulang! Hasilnya akan lebih baik jika kau tetap diam."
Jisela menunduk, lalu pergi dalam bungkam. Dia tidak bisa merasakan apa-apa, selain sakit hati yang mencekik. Rasa sakit ini serasa menenggelamkannya.
Jisela terus berjalan, berusaha menghentikan air mata, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Kedua mata Jisela terbuka perlahan. Bunyi jam alarm pelan-pelan diterima kedua telinganya seiring bau-bau tidur meninggalkannya.
Kamarnya masih sedikit gelap, begitu pun langit di luar.