Setelah keberangkatan Jisela dan Relia sehabis mereka sarapan bersama pagi ini, Kira menata sepiring nasi dan segelas air di nampan.
"Aku akan sarapan di sini."
Kira menengok cepat. "Kia!" Kedua mata Kira mengkilap, bibirnya bergetar menahan sedu. "Kau di sini?" Menelisik rambut Kiara yang basah dan wajahnya yang lebih menyala.
Kira menariknya, memeluk kuat-kuat. Membebaskan air matanya di pundak Kiara. "Aku tidak percaya kau di sini." Kira tertawa di sela tangisnya. "Aku bahagia sekali. Kau di sini."
Di ruang rapat perusahaan, Jisela mendengarkan penuh penyampaian gambaran besar proyek-proyek pilihan yang akan dilakukan.
"Saya rasa VinBucks' menawarkan sesuatu yang menarik. Perusahaan kita perlu melakukan kolaborasi untuk bisa lebih maju lagi. Posisi kita memang sudah baik, tetapi perusahaan kita terasa stagnan. Saya merasa kita terlalu nyaman dengan posisi ini dan tidak mau keluar membuat gebrakan." Jisela terlalu bersemangat, sehingga melupakan seseorang. Ketika menatap COO, wajahnya menciut seakan sadar di mana tempatnya. "Bagaimana menurut Paman?"
"Itu tidak diperlukan. Nama VinBucks' tidak begitu menjanjikan. Mereka terlalu kecil untuk bersanding dengan perusahaan kita, tidak akan bisa mencapai gebrakan yang Anda maksudkan. Kita akan memilih brand ambassador baru. Itu lebih tepat. Benar, Nona CEO?"
Ketika rapat selesai, Jisela berakhir di ruangan pamannya.
"Jisela, apa akan selalu begini cara kerjamu? Kau sangat berbeda dengan ayahmu. Kau bahkan tidak mencapai 50 persen ketelitian dan kehati-hatian ayahmu. Sebelum bicara, rundingkan dulu dengan Paman. Jangan sok membuat keputusan sendiri. Jangan membuat dirimu terlihat bodoh di depan karyawan-karyawan lain. Paman lebih lama berada di sini dan bekerja bersama ayahmu. Paman lebih tahu cara berpikirnya. Kau harus mengelola perusahaan ini sebaik yang ayahmu lakukan, bukankah itu yang kau inginkan? Kau masih membutuhkan bimbingan, kau tidak akan bisa berdiri sendiri tanpaku."
~-~
''Terlambat padahal untuk interview. Kesan yang sangat bagus.'' Di meja kerjanya, Relia menatap penuh pada Dona yang baru sampai.
''Tatapanmu semakin menusuk.'' Tanpa dipersilakan, Dona duduk di kursi berhadapan dengan Relia. ''Aku dengar kau ditinggal nikah kekasihmu. Uhh, pasti sakit sekali.''
Relia membolak-balik CV serta surat lamaran Dona. ''Kau adalah pelamar dan aku yang menentukan kau bisa diterima atau tidak. Jadi, perlakukan aku dengan hormat. Aku bukan Jisela, ingatlah itu.''
''Kenapa tidak kita mulai saja wawancaranya? Waktu adalah emas.'' Jelas sekali Dona tidak menggubris peringatan Relia.
''Aku rasa tidak perlu. Aku memutuskan tidak menerimamu.'' Relia memasukkan kertas-kertas itu kembali ke dalam map.
Dona hanya akan membawa dampak buruk pada perusahaan ini, setidaknya itu menurut perabaan kasar sepasang mata Relia.
''Ini tidak adil. Kau mencampurkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Kau sangat tidak kompeten.''
Relia mendorong map itu lebih dekat pada Dona. ''Dari tadi, apa pernah aku menyinggung ayahmu yang masih dicurigai polisi? Apa pernah aku menyebutmu sebagai anak dari pembunuh? Justru kau yang menarik-narik masalah pribadiku.''
Lengan Relia terlipat di meja. ''Bukan hanya satu, aku punya lima alasan untuk menolakmu. Tidak disiplin, tidak ada rasa hormat, tidak tahu apa itu attitude, kesombongan, menyebutku tidak kompeten. Jika masih kurang, aku bisa memberimu lebih banyak."
"Aku akan mengadukanmu ke Oma."
"Adukan saja. Oma ada di rumahku, aku bisa mengantarmu kalau kau mau."
Dona hanya diam, memandang memendam kesal.
''Tidak masalah kalau kau masih ingin berada di sini, tapi aku punya banyak pekerjaan. Nikmatilah waktu luangmu, Nona Dona. Maaf tidak bisa menemanimu lama-lama.'' Relia beranjak. Hampir benar-benar keluar, dia melongok dari pintu yang terbuka setengah. "Ada CCTV-nya, jangan mencuri, ya."
Relia berjalan dengan tawa samar tanpa suara. Dia yakin, meski wajah Dona tak menampakkan murka, tetapi hatinya pasti panas membara.
Relia berencana ke ruangan Irene, hanya karena ingin sedikit andil saja dalam menjaga perusahaan ini.
Setidaknya cukup seminggu tiga kali Relia mengunjungi perusahaan ini. Dia lebih banyak bekerja di pusat psikologi miliknya sendiri.
Hal yang Relia sukai di sini adalah saat karyawan lain menatap kagum ke arahnya. Tentu saja pesonanya tidak perlu diragukan. Relia tidak bisa membaca pikiran orang lain, tapi apa yang orang pikirkan dan rasakan tercermin pada perilaku mereka.
Di depan pintu, langkah Relia terhenti dengan sedikit kejutan dari Irene yang kebetulan keluar dari ruangan.