Di usia Jisela yang kala itu beralih pada angka 23, hari-harinya tidak terasa lebih baik, tetapi mendapat posisi tertinggi di kantor cabang, merasa melakukan semuanya dengan sempurna atas dasar pujian ayahnya, jujur saja Jisela merasa sedikit lebih tinggi dari beberapa orang. Meskipun, semua ini tidak pernah ada dalam kotak impiannya. Jisela tahu semua yang dia lakukan sejak awal memang akan sampai di sini. Dia memang disiapkan untuk ini.
"Jisela, haruskah kita minum kopi setiap keluar? Kalau hanya espresso, kau bisa buat sendiri di rumahmu. "
Dalam kafe itu, Jisela menaruh cangkirnya yang hampir kosong. "Tidak mungkin." Jisela menatap Irene setengah tertawa. "Kopi jadi musuh ibuku saat ada ditanganku."
Irene membalas dengan tawa yang sama. "Kau yakin? Why?"
Jisela mengangguk-angguk melanjutkan tawanya. "Saat aku memegang secangkir kopi, di mata ibuku terlihat seperti aku sedang minum alkohol."
Ponsel di meja itu berdering. Tangan Jisela terlipat di meja.
Tanpa memeriksa, Jisela menolak panggilan dan membaliknya dengan posisi layar di bawah. Dia menghabiskan sisa kopinya.
Irene menatapnya. "Kau yakin itu tidak penting?"
Jisela bertumpu pada sebelah lengan, memejamkan mata. "Hanya ibuku. Sudah jam makan malam, pasti untuk mengingatkan pulang."
Irene mengangguki. Memusatkan mata pada ruang cangkir yang kini dalam lingkupan kedua telapak tangannya.
"Sebaiknya kau menikmati itu sekarang. Suatu saat, nada dering itu akan menjadi sesuatu yang sangat kau rindukan."
~-~
Dalam ruangannya yang sudah tanpa Dona, Relia membaca pesan penuh semangat Kira di grup obrolan mereka. Bibirnya tertarik lurus membentuk senyuman. Namun, sedatar bar notifikasi baru yang tiba-tiba menyembul, air muka Relia padam tanpa warna.
Relia memahami kebisingan debar jantungnya, juga kegelisahan bertebar bahagia dalam hatinya.
Alé
—————
Aku baru kembali beberapa hari lalu
Sudah lama tidak mendengar kabarmu
Aku melihatmu di restoran kemarin,
kalau kau ada waktu, dengan segala
kesadaranku atas seperti apa aku di matamu saat ini,
aku ingin bertemu denganmu
Haruskah kubalas sekarang? Secepat ini? Tidak. Dia harus menunggu. Relia menghembuskan napas kasar dengan wajah kesal mengolok diri sendiri. "Dia masih membuatmu berdebar? Apa kau senang? Sadarlah, Relia!"
Relia berdecak. Setiap kali teringat Alé, wajah Jisela juga hadir dalam benaknya. Ketika itu terjadi, hati Relia kembali memungut rasa benci untuk kakaknya, lalu pada dirinya sendiri, karena menyadari Jisela tidak salah sama sekali.
Mungkin Relia mengabaikan atau memang tidak mau menerima, bahwa seharusnya Alé yang mendapat kebenciannya. Namun, sekeras apa pun dia berusaha, Alé tetap berada di ruang cinta dalam hatinya.
Malam itu Jisela pulang, sesuatu yang jarang dia lakukan. Sejak mengurus perusahaan cabang, Jisela jarang pulang ke rumah, karena memutuskan tinggal sendiri di apartemennya.
Itu menimpuk desir bahagia di hati Relia. Entah apa atau dengan apa, kehadiran Jisela pasti akan menyebabkan hal besar. Relia tahu betul. Jisela saja malas bertemu keluarganya, apalagi tamu undangan yang tidak dia harapkan. Relia sangat ingat, Jisela masih menentang hubungannya dengan Alé, karena pertunangan ini mengakibatkan ayah mereka membagi warisan sebelum waktunya.
Ketika langkah Jisela berakhir di meja makan, Relia memperhatikan raut wajah kakaknya tanpa jeda. Senyum Relia menghilang. Cukup lama mereka saling menatap, Relia berdiri menimbulkan suara dorongan kursinya. Bahkan tidak merasakan Alé menggenggam tangannya.
Relia belum tahu apa itu, namun kepalanya menggeleng memohon. "Jangan," bisiknya hanya didengar diri sendiri.
"Mohon maaf." Jisela sedikit menundukkan kepala, sebelum kembali menatap ayah ibu mereka dan kedua orang tua Alé.
"Jisela ...."
Jisela mengabaikan panggilan bersifat kemarahan Relia. Menciptakan rasa bingung dan penasaran dalam benak setiap orang di sana, termasuk Mario dan Fina.
"Namun, putra Anda telah menghamili calon istrinya yang satu lagi. Bukankah sudah seharusnya dia melanjutkan pertanggungjawabannya terhadap wanita yang telah mengandung calon anaknya?"
~-~
Jisela merapikan dokumen-dokumen di mejanya. Menatap jam tangan sekilas. Tangannya tergerak tangkas menghentikan dering ponselnya.
Menempelkan benda itu ke telinga. "Iya, Ma, aku sudah——" Jisela tercekat serupa suaranya. Menahan napas mengahalau wajahnya mengerut. Menepis ingatan menyakitkan yang akan memicu air matanya.
Jisela memeriksa nama kontak yang tertera di layar. Kembali merapatkan ponselnya ke samping wajah.