Melihat kedua kakaknya mendekat, Kira turun dari mobil. Memperhatikan wajah mereka satu per satu. "B-bagaimana?" tanyanya bergetar penuh keraguan.
"Kita pulang saja."
Kira memundurkan kepala. "Pulang?" Membalas cepat. Tak pernah mengharapkan keputusan itu dari Relia.
"Tapi aku sudah minta Bibi hanya masak buat Kak Jeffi. Kita bisa ke restoran lain, Kak, tapi aku tidak akan tahan kalau harus pulang dan tunggu memasak dulu," sambat Kira merengek.
Relia geleng-geleng. "Kau tidak lihat wajahku?"
Sementara Jisela hanya diam menunggu pembicaraan mereka berakhir.
"Kita pesan antar saja."
"Itu luaamaaa ...." Kira menghentakkan kaki menolak penuh.
"Akira, kau sudah besar, masih pantas begitu? Kita pulang." Relia mengulurkan kunci mobil ke Jisela, kembali menatap Kira. "Lagi pula, di restoran, makanannya juga harus dimasak dulu, semua pilihan sama saja, kita harus menunggu untuk makan."
Wajah Kira tertekuk masam. Merampas kunci mobil dari tangan Jisela, lantas melemparnya ke Relia. "Kakak sudah besar, masih pantas begitu? Tidak sopan menyuruh yang lebih tua."
"Kau——" Relia mengangkat tangannya yang terkepal. "Memangnya apa yang baru saja kau lakukan?" Jeritan Relia menyebar ke penjuru kota.
Kira mengedikkan bahu. Melenggang ke mobil. "Kia, kakakmu yang jahat itu mencoba membunuhku. Dia minta makan di rumah, kenapa? Padahal tidak ada yang salah sama sekali dengan wajahnya. Aku bisa mati."
Kiara menautkan lengannya dengan Kira. Membuat Kira berakhir menyamankan diri bersandar di pundaknya.
Kiara mempuk-puk pipi Kira. "Tenang, kau tidak akan mati semudah itu. Kau punya banyak cadangan lemak dari hati pria-pria yang kau permainkan."
"Kau ...." Jisela memanggil Relia yang sudah membuka pintu hendak masuk mobil. "Kita sudah sampai di sini, aku akan pesan," ucapnya sedikit pelan.
"Di tempat lain saja." Relia melipat tangan, menatap Jisela dengan intensitas tinggi. "Kau berubah, nada bicaramu berubah."
Wajah Jisela berubah kikuk, gesturnya menjadi kaku. Namun, dia beranjak. "Cepat, aku lapar."
Mobil mereka melaju dengan keheningan di dalamnya.
Jisela diam, tapi kepalanya berisik, sibuk bertengkar dengan pikirannya, mencaci-maki juga membuat pembelaan atas hujatan yang dia lontarkan sendiri.
"Terima kasih, dan maaf menjadikanmu tempat sampahku."