Ketika Kami Kehilangan Dua Bintang

Alfania Vika
Chapter #12

12. Ragu, Bingung, Entah

Di cafe langganannya, Relia berada dalam kebimbangan besar. Dia yakin mengikuti ajakan itu adalah sebuah kesalahan, tapi dia lebih tidak sanggup menolaknya. Aktor yang baru pulang dari Amerika itu, kini berada di hadapannya untuk menawarkan makan malam bersama. 

Seharusnya Relia tidak perlu berpikir dan langsung menolaknya, tapi dia bahkan tidak berpikiran untuk menolak undangan pribadi itu. Selain status pria itu yang kini sebagai mantan kekasihnya, pria itu juga sudah menjadi suami wanita lain. Relia seharusnya sadar, kandasnya hubungan mereka, itu disebabkan oleh keegoisan pahlawan prianya.

Mungkin Kira memang benar, aku wanita tidak tahu malu yang masih berharap pada suami orang.

"Relia, bagaimana? Kau belum membalas pesanku sampai sekarang, tapi kebetulan kita bertemu di sini."

Relia terhempas dari lamunannya. "Ah, maaf. Mungkin lain waktu, aku sudah ada jadwal lain malam ini." 

Napasnya tercekat saat pria itu justru menahan kepergiannya. Hanya sentuhan dari pria itu, bisa membuat Relia hampir melupakan seluruh prinsipnya. Sebesar itulah rasa cinta Relia, bahkan sampai sekarang.

"Kau menolak ajakanku bukan karena hubungan kita sebelumnya, kan?"

"T-tidak. Aku menolaknya ... sudah pasti bukan karena itu."

Relia kembali bernapas dengan bebas setelah genggaman itu terlepas.

"Baiklah, maaf sudah mengganggu waktumu. Kita bisa melakukannya lain waktu."

Relia bertanya-tanya, siapa wanita yang bisa menolak dan tidak terpesona oleh senyum indah pria itu? Semua yang ada padanya terlihat begitu sempurna. Relia hampir tidak bisa berhenti dari keinginannya untuk terus melihat senyum indahnya. 

"B-baiklah, sampai jumpa." Senyum Relia yang menandakan datangnya sebuah harapan adalah kesalahan. Namun, Relia terus mengingatkan dirinya, dia tetaplah wanita dengan moral dan prinsip.

Sementara itu, masih kepikiran pertengkaran panasnya dengan Relia pagi ini, Kira membuka lokernya di sekretariat UKM teater. Memang tidak pernah sepi. Setiap kali membukanya, Kira menemukan kotak itu sangat berisi. Bukan sampah, tentu saja loker itu berisi hal-hal indah sebagaimana pemiliknya. Semenjak Kiara tidak mau lagi makan cokelat, Kira jadi bingung harus membuang cokelat-cokelat itu ke mana.

Kira merasa bangga, tentu. Malah mungkin, sebagian besar kepercayaan dirinya berasal dari sana. Sejak remaja, Kira sudah terbiasa terkenal, bahkan meski dia sudah tidak terlalu berusaha untuk terkenal seperti sekarang. Namun, itu ada untungnya juga.

"Sepertinya penggemarmu semakin banyak. Tapi ... kurasa kau lebih butuh ini."

Kira menyangga pada loker, menatap seseorang yang tiba-tiba muncul. "Apa?"

Lihat selengkapnya