Senyum melintang di bibir Relia. "Bagaimana perasaanmu hari ini?"
"Aku ... tidak tahu. Aku hanya ...." Memperhatikan muka kakaknya semakin mengantarkan Kiara pada kebimbangan untuk melanjutkan.
Relia menanti dengan memandang keraguan di wajah Kiara. "Jangan takut mengatakan apa pun yang kau rasakan."
Kiara menyerahkan segalanya melalui hembusan napas. "Aku—aku tidak ingin apa-apa lagi. Aku tidak mengharapkan apa pun lagi. Aku ingin pergi."
"Pergi ke mana?"
"Ke mana saja. Yang penting aku bisa menghilang begitu saja, sehingga tidak perlu merasakan apa-apa lagi, tanpa meninggalkan apa pun bagi yang lain."
"Menurutmu, mungkin melakukan hal itu?"
"Tidak mungkin, karena aku sudah terlanjur ada di sini. Sebagai adikmu, yang tidak ada gunanya, sebagai kembaran Kira, yang wajahnya sangat berbeda dengannya. Kalian sangat baik padaku, tapi tidak ada yang bisa kuberikan pada kalian. Aku hidup atau tidak, itu sama saja. Aku sungguh tidak ingin apa-apa lagi. Aku tidak akan melakukan apa-apa lagi. Aku sudah selesai."
"Kupikir kau merasa lebih baik sehingga mau lebih lama di luar kamar. Apa yang mendesakmu keluar kamar?"
Kiara mengusap air mata yang hampir jatuh dari kelopaknya. Menahan napas serta-merta lebih banyak air mata yang mendobrak. "Aku mencoba—mencoba kembali pada diriku yang dulu. Aku tidak bisa. Aku hanya ingin pergi."
"Sudah saatnya kau menghadapi rasa kehilanganmu. Kau tidak bisa terus mengelak. Kau kehilangan Ted, Papa, dan Mama—"
Kiara menutupi kedua telinganya, memejam rapat. "Tidak." Kepalanya menggeleng berulang.
Relia menarik paksa kedua tangan Kiara. "Kiara ...." Menuntut Kiara menatap padanya. "Buka matamu! Kia!" Melawan pemberontakan Kiara dengan tarikan lebih kuat. "Lihat aku!"
Mata merah Kiara menancap pada wajah kakaknya.
"Ted, Papa, dan Mama tidak akan pernah kembali. Kau tidak bisa membawa mereka kembali." Relia menahan kepala Kiara agar tetap menatapnya. "Tapi banyak yang masih bisa kau lakukan. Melindungi apa yang mereka tinggalkan."
"Kenapa aku harus melakukannya? Aku sendiri kesakitan."
"Kalau kau saja seperti ini, bayangkan apa yang dirasakan oleh orang tua Ted, tapi mereka sadar tidak ada yang bisa menghentikan kematian."
"Mereka hanya orang tua angkatnya."
Relia terhenyak sejenak. Tak menduga mendengar kalimat setajam itu dari Kiara.
"Lalu kau? Memangnya kau siapa?"
Kiara terdiam dalam gertakan rahang.
"Kiara ...." Relia mengusap menyisihkan rambut dari wajah Kiara. "Kau orang yang mencintainya, seperti kedua orang tua Ted yang memiliki cinta untuknya. Kau putri Papa dan Mama yang sangat menyayangi mereka, seperti ketiga kakakmu. Kau kehilangan mereka di waktu yang hampir bersamaan, tapi kami juga terluka, Kia, kami merasakan lukamu, kami juga merasa telah kehilanganmu."
"Kumohon ...." Relia berlutut di depan Kiara, menggenggam kuat tangannya. "Cobalah sekali saja. Selangkah saja ... keluar dari rasa takutmu. Kau harus menghadapi rasa sakit itu. Kau harus menerimanya. Mereka sudah pergi dan tidak akan bisa kembali." Relia menatap mata Kiara lebih dalam, menggelengkan kepala. "Mereka tidak akan kembali, Kia."
Kiara membebaskan suara tangisnya dalam pelukan Relia. Suaranya beberapa kali menghilang disusul isakan lebih dalam.