Ketika Kami Kehilangan Dua Bintang

Alfania Vika
Chapter #14

14. Idiot

Jisela duduk di kursi cafe dalam kekangan rasa takut dan penasaran. Perasaan antisipasi penuh kegelisahan itu menekan sedikit lebih dalam ketika sosok Irene memantul dalam lensanya.

Jisela tersenyum dengan hembusan napas begitu pelan. Dia hampir membuka suara saat Irene duduk di sisi lain, tetapi getar ponsel di meja lebih dulu menyela.

Jisela menghidupkan mode pesawat sebelum memasukkannya ke dalam tas. Menaruh perhatian penuh pada wajah sembab Irene.

"Aku bisa datang ke rumahmu, kenapa bertemu di sini?"

Irene mengusap air matanya yang masih di luar kendali. Membuat hati Jisela semakin meringis was-was. Apa tentang KTP itu?

"Maaf ...."

Mata Jisela menatap lebih dalam melontarkan tanya.

"Asal kau tahu aku menangis bukan karena takut padamu, tapi karena ibuku." Irene menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Menyeka bersih air matanya. "Meskipun sudah sebesar ini, aku masih butuh ibuku. Kau sudah tahu perasaan itu."

Jisela memandang lebih iba, menganggukinya. "Lagi pula kenapa kau harus takut padaku?"

Irene menatap Jisela sepenuhnya. "Aku takut sudah benar-benar terlambat kalau menunda lebih lama. Seseorang mungkin menemukan dompetku yang jatuh. Memang dompetnya sudah ada di laciku, tapi KTP-mu hilang."

Warna dan segala kerutan ekspresi meninggalkan wajah Jisela.

"Ada apa? Kenapa wajahmu begitu? Tenang saja, kita bisa memeriksa CCTV kantor—tunggu dulu, kuharap kau tidak salah paham. Sebelumnya aku menemukan KTP-mu di ruangan Tuan Marcel. Aku belum sempat mengembalikannya padamu. Aku pikir masalah ini cukup rumit, dan kesehatan ibuku sedang memburuk belakangan ini. Aku belum tahu kapan waktu yang——" Ucapan Irene terhenti karena kepala Jisela luruh di atas meja. 

"Apa kau mengatakan yang sebenarnya?" Jisela bertanya lemah, masih dalam posisi yang sama.

"Ya, kenapa? Semua baik-baik saja?"

"Tidak, sama sekali." Jisela menyembunyikan wajahnya di balik lingkupan kedua lengan. "Ini sangat buruk asal kau tahu."

"Aku tahu Irene menyimpan KTP-ku. Mungkin dia memang menggunakannya untuk sesuatu. Ibunya dirawat di rumah sakit berbulan-bulan. Mungkin dia sedang butuh uang dan malu meminjam langsung padaku. Tapi, aku tahu, aku yakin, apa pun perbuatannya tidak akan sampai menggorok leherku. Tapi, sekarang KTP-ku ada padamu, dan ibunya baru saja meninggal. Aku masih harus berterima kasih padamu?"

"Lalu apa? Kau mau menyalahkanku? Aku yang membunuh ibunya? Itu yang ingin kau katakan?"

"Ada apa?" Irene bertanya dengan nada lebih menuntut.

"Aku seperti orang idiot. Aku bahkan merasa malu untuk mengingatnya. Sial sekali hidupku. Kenapa aku bisa berpikir begitu sebelumnya?"

Irene menanti, hingga Jisela memantapkan diri dan selesai mencurahkan betapa dramatis pikirannya.

"Jisela, kalau aku memang butuh sesuatu, aku pasti akan mengatakannya langsung padamu. Sekarang aku hanya punya kau. Lain kali kau harus mengendalikan pikiranmu." 

"Aku tahu. Aku juga merasa harus minta maaf padamu. Maafkan aku."

"Relia lebih memerlukan permintaan maaf itu."

Lihat selengkapnya