Ketika Kami Kehilangan Dua Bintang

Alfania Vika
Chapter #15

15. Hati yang Terluka

Dari makam kedua orang tua mereka, Jisela mengantar Kira dan Kiara sampai di depan gerbang rumah. Kira sempat menjelaskan, Relia harus pergi ke suatu tempat, sehingga ketika Jisela sampai di makam, Relia sudah pergi. 

Bahkan setelah Kira dan Kiara keluar dan menunggu mobil itu bergerak lagi, Jisela setia terdiam. Jisela rasa Relia pergi bertemu Irene, karena Irene memang bilang akan bicara dengan Relia nanti, tapi tidak menyangka secepat ini.

Melihat keterdiaman itu, kaki panjang Kiara mengayun selangkah lebih dekat ke pintu kemudi. "Kak Lia pergi bukan karena tidak ingin bertemu Kakak. Maksudku, dia bukan Kakak."

Jisela teralih mendalami mata Kiara, lalu penampilan gadis itu——adik bungsunya. Dia berusaha mengingat. Mungkin ini baru pertama kali Kiara bicara padanya sejak orang tua mereka tiada, atau malah sejak pacar gadis itu meninggal, atau bisa saja sebelum itu semua.

Kiara merasakan tarikan Kira di lengan kanannya, tapi memutuskan bertahan di tempat. "Semoga Kakak cepat sadar. Kakak tidak bisa terus berdiri sendirian di tempat Kakak sekarang, Kakak hanya berusaha agar tetap begitu."

"Kau juga?" Bibir Jisela memberikan senyum setengah cukup singkat. "Seperti Relia? Bagus. Bahkan kebencian bisa menjadi bahan bertahan hidup."

Kelopak mata Kira memejam cukup dalam.

Berlainan dengan itu, Kiara tersenyum lebar, berharap itu cukup jelas terlihat oleh Jisela. "Mungkin itu hanya berlaku untuk Kakak. Dan kenapa Kakak berpikir aku membenci Kakak? Atau, kenapa Kakak berpikir banyak orang membenci Kakak? Mungkin bukan orang-orang, tapi Kakak yang membenci diri Kakak sendiri."

"Akhirnya kau banyak bicara."

Kira melangkah untuk sejajar dengan Kiara. "Kita bisa bicara lebih panjang lagi nanti, sekarang Kak Jisel pasti harus segera ke kantor."

Jisela terbungkam cukup menatap mereka bergantian.

"Tidak masalah menunjukkan rasa sakit dan kesedihanmu, terutama pada ketiga adikmu."

"Selamanya kau ingin hanya menatap dari jauh, bukannya berdiri di samping mereka?"

Baik Kiara atau Kira tak beralih dari rasa ingin tahu berbalut bingung, berharap Jisela mengatakan sesuatu yang menandakan keterbukaan tangan, sebuah penerimaan.

Jisela menelan ludah, yang rasanya lebih seperti memaksakan diri melakukannya. "Kira ...." 

Sementara bahu Kira turun dari kekauan bersama pupil membesar, senyum Kiara tak selebar sebelumnya bersama mata menyipit.

"Aku akan makan malam tepat waktu malam ini. Di rumah. Buatkan teh chamomile untukku. Tolong."

Kira melambai pada mobil Jisela yang semakin mengecil dan hilang di belokan. Dia menabok bahu Kiara penuh tenaga. Tak peduli pada sambatan kembarannya.

"You see that?" Kira bicara sambil lalu. "Dia terkesima, Bro, padaku!"

"Sudah seharusnya begitu, dia harus menghargaimu." Kiara mengikuti Kira melewati gerbang ke halaman rumah. "Apa itu hal besar?"

"Ya."

"Kau tidak pernah sampai begitu ketika bersama mainanmu."

Itu membuat langkah Kira tercekat seketika. Tubuhnya berputar 180 derajat menghadap Kiara.

"Itu mengingatkanku pada sesuatu." Kira menyuarakan senyum sok asik. "Besok ikut aku bertemu Juna, Kriss, Vigo, Jaya, dan ... Pen. Kau bodyguard-ku, ingat?" Kira lari bertolak masuk ke rumah, tak mau dengar balasan Kiara yang kemungkinan besar berupa penolakan.

"Ini terakhir kalinya, Roseann!"

"Kita akan bertemu Bella juga." Kira sedikit berteriak tanpa menoleh. 

Selama perjalanan ke kantor, Jisela mendalami segala yang terjadi padanya belakangan ini, lebih tepat seperti apa hubungannya dengan pamannya berjalan. 

"Kenapa? Karena selama ini kau merasa ditindas? Kau sendiri yang membiarkan itu terjadi." Jari Jisela mengusap selarik alisnya. KTP itu. Kenapa pamannya membutuhkan itu? Mungkin dia menemukannya saat jatuh, seperti Relia.

Telunjuk Jisela mengetuk-ngetuk setir mobil. Menggigit bibir bawahnya. Terbawa arus ke masa yang telah lalu. Bau keburukan dalam masa lalu seseorang selalu menjadi hal paling mudah terpanggil.

"Marcel, jangan kurang ajar!"

"Akan kukatakan ke Papa kalau kau orang gila!"

Jisela memejam rapat sebentar. Memukul kepalanya merasa menutup mata saja tidak bisa mengusir ingatan itu.

Memang tidak berhasil dihalau. Dia mengingatnya semakin jelas. Hari itu Jisela menatap Marcel dengan sklera mata yang sudah memerah. Dia pernah seberani itu. Sakit hatinya saat itu tidak perlu dipertanyakan. Dia bahkan menyebabkan orang lain mengeluarkan darah, pamannya sendiri. 

Lihat selengkapnya