Relia menghela napas. Wajahnya dihiasi senyuman puas selama menunggu sedetik dan melihat surelnya terkirim.
Tanpa sadar mendalami pantulan wajahnya dalam cermin kecil di samping pojok keyboard komputernya.
Relia meraih cermin itu, mengangkat lebih dekat pada sisi kiri wajahnya. Meraba bekas luka di pelipisnya.
Saat luka itu masih baru dan terasa sangat menyakitkan, dia bisa tahu dengan jelas, lebih dari apa pun keluarganya sangat menyayanginya. Selama beberapa waktu semua orang di rumahnya jadi tidak malu lagi menunjukkan rasa sayang mereka.
Relia mengembalikan cermin itu ke tempatnya. Mengirimkan pesan singkat pada seseorang mengenai laporan yang baru dia kirimkan kalau-kalau saja dia perlu mengirimkan versi cetaknya juga.
Relia beralih merapikan isi mejanya sementara melirik jam di sudut bawah layar komputernya. Memijit pelipisnya.
"Uhh, kurasa akhirnya aku butuh kafein."
Saat itu ponselnya berdering.
"Halo? Relia, apa kau sedang sibuk sekarang?"
"Aku baru mau pulang, kenapa, Kak?"
"Bisa kita bertemu sebentar? Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Itu bukan sesuatu yang aneh, hanya tidak biasa.
"Baik, Kak, kita bertemu di?"
"VinBucks, sekalian kau sapa Asha."
Relia setuju tanpa pertanyaan sampai pikirannya mendapat panggilan terkaan. "Apa Asha mau bertunangan?" Rasa terkejut Relia melemah mendengar Irene tertawa dan kedengarannya menanyakan langsung pada orangnya di sana.
"Jaga mulutmu, atau aku yang harus menjaganya dengan sandalku?"
Relia sengaja mengeraskan tawanya mendengar suara Asha setengah berbisik.
"Ada yang ingin kau makan?"
"Aku sudah janji makan di rumah, affogato boleh."
"Oke."
~-~