Malam itu tiga penghuni Rumah Bumantara sedang menambah beban dengan memasak bersama. Mungkin tidak ada yang spesial. Kira hanya berharap ini menjadi awal masuknya suasana baru yang lebih hangat di rumah mereka, setelah beberapa saat masa kelam.
Dari fokus menipiskan adonan kulit pangsit secara manual, dalam diam Jisela memandangi Kira dan Kiara bergantian. Hingga tanpa sengaja berpapasan mata dengan Kiara.
Jisela kembali menunduk pada adonannya setelah mendapat senyuman lembut dari Kiara. Itu membuat Kiara tersenyum semakin lebar.
Kira mencicipi sedikit isian pangsit yang dia buat. Tatapannya sampai pada Kiara sambil mempertimbangkan rasa adonannya. "Kia, tidak perlu terus mengaduknya. Lihat, supnya jadi tumpah ke mana-mana. Jangan terlalu lama juga memasaknya, perhatikan tingkat kematangannya!"
Kiara memajukan bibir bawahnya sambil bergumam mengulangi ucapan Kira, selain itu justru mempercepat adukannya. Kiara tidak menyangka Kira juga bisa begitu bersungguh-sungguh seperti sekarang. Kira sangat serius ketika memasak, yang membuat anak itu jadi mudah marah.
"Apa kau tidak dengar yang kukatakan? Tidak perlu terus mengaduknya, apalagi sampai begitu."
Kiara diam menerima dan menuruti, menilai itu cara terbaik menghadapi orang yang sensi.
"Kak Jisel, sudah semua adonan kulitnya?"
Jisela mempercepat gilasan rolling pin-nya. "Akan selesai semua sebentar lagi. K-kau bisa pakai beberapa yang sudah(?)"
"Kalau sudah, masukkan isiannya ke dalam situ, aku mau memanggang ayamnya." Kira menaruh semangkuk tanggung isian itu di sebelah kakaknya.
"Dibungkus seperti apa?"
Hampir menjauh, Kira kembali menarik mangkuk tadi juga satu kulit pangsit. Mencontohkan cara membuntelnya.
"Kau baru saja menghela nafas di depanku?"
Mematikan kompor, Kiara mengangkat sendok pengaduk supnya. "Lebih baik kita menjauh darinya ketika dia memasak. Ketika di dapur Buaya Betina pun bisa berubah jadi Mak Lampir."
"Kau bilang apa? Coba katakan sekali lagi di depanku!"
"Baru saja kukatakan di depanmu, memang aku ada di mana sekarang? Di atasmu? Cuma begini saja kau sampai ngamuk-ngamuk."
Jisela memusatkan mata secara penuh pada tangan Kira. "Buat lagi, barusan aku kurang memperhatikan."
Kira meletakkan sendok yang sebelumnya dia gunakan mengambil adonan isian. Menuju sisi lain meja pantry, cukup dekat dengan Kiara.
"Cuma begini? Kenapa tidak kau kerjakan semua sendiri?"
"Hei, kita semua lapar——"
"Itu dia, kenapa tidak kau kerjakan sendiri kalau kami selalu salah di matamu?"
Usaha Jisela menengahi pun buyar.
"Kau memang salah! Ada orang yang mengaduk sup seperti itu selain kau?"
"Banyak! Kau saja yang mainnya kurang jauh."
Jisela memejam menahan gelegak dalam hati mendengar perdebatan mereka semakin seru. Sampai pundaknya ditarik seseorang.
"Ada apa ini?" Pertanyaan Relia terlontar setengah berteriak, tetapi tetap tidak cukup keras di telinga Kira Kiara yang adu mekanik berlomba membuktikan siapa yang paling unik olokannya.
"Mereka bertengkar." Raut kesal Jisela heran itu masih tidak cukup jelas bagi Relia. Meskipun Relia memang baru datang, itu sangat jelas di depan mata. Orang paling polos pun pasti tahu dua anak itu sedang adu mulut.
"Aku tahu, yang kutanyakan kenapa mereka bisa bertengkar? Dan kenapa kau diam saja?"
"Aku diam saja? Kau baru sampai memang tahu apa?"
"Harusnya kau hentikan mereka."
"Aku mau mengehentikan mereka tapi kau datang-datang ngomel-ngomel."
"Kau selalu menyuruh-nyuruh dari tadi, memang aku bawahanmu?"
"Jangkung, kau pikir kau bisa memasak semua ini kalau tidak ada aku? Dari awal disuruh pakai apron tidak mau, membantah terus, mengaduk sup saja tidak becus."
"Oi, Oi! Mau kuhancurkan saja semua masakannya?"
Mata mereka berempat serentak tertuju pada Jeffi yang menggetok-getok meja pantry dengan gagang pel. Namun, selanjutnya tidak ada yang peduli.
Kiara membuat gebrakan besar dengan membawa kedua tangannya menarik rambut Kira.
Kira tak melewatkan sedetik pun untuk melakukan hal sama.