Ketika Kami Kehilangan Dua Bintang

Alfania Vika
Chapter #19

19. Matahari Bersinar Lebih Lama

Jisela bersandar di samping pintu utama. Sepatunya mengetuk-ngetuk lantai sambil sesekali memeriksa jam tangan. Dia berdiri lebih tegak mendengar pintu terbuka. 

Jisela sudah mengusap-usap merapikan bajunya yang sama sekali tidak berantakan lalu berdehem. Namun, Relia hanya memandang aneh dan pergi.

"Kau ...." 

Kaki Relia menghentak untuk mengakhiri langkahnya. "Apa aku tidak punya nama?"

Ada waktu untuk melanjutkan permasalahan panggilan itu, tetapi Jisela memang ingin meniupnya jauh-jauh.

"Mmm ...." Jisela melipat bibirnya masuk. "Semalam, kau sudah bicara dengan Irene, kau sedang menertawakanku di dalam hatimu?"

"Memang aku tidak punya kerjaan lain?" Relia memutar bola mata. "Memang bumi berputar hanya untukmu?"

Itu membuat napas Jisela tersendat sebal. "Mata itu—kau akan selalu tidak sopan padaku?"

"Yeah, dan menyuruh orang lain meluruskan kesalahpahaman antara kau dan aku memang sangat sopan." Relia sudah menduga Jisela akan terdiam. "Kau tidur semalam? Bagaimana kau bisa dapat barbiturat? Kau memilikinya tanpa resep dokter?"

Wajah Jisela berpaling jadi malas menanggapi orang di depannya terlebih topik yang dibawa.

"Menurutku kau benar-benar orang yang menakutkan."

Jisela tersenyum setengah, terlihat bangga akan itu. "Itu hal yang normal." Dia tertarik menatap Relia. "Manusia cenderung takut pada sesuatu yang sulit mereka tebak."

"Wahhh." Relia menutupi mulutnya bertingkah seakan itu hal paling luar biasa yang pernah dia dengar. "Aku tidak percaya kau yang mengatakan itu. Lalu, menurutmu Paman Marcel orang yang menakutkan? Apa yang dia lakukan?"

Jisela melotot menatap Relia. "Kau tidak bisa menyambungnya begitu saja. Kau harus menanyakannya pelan-pelan——"

"Ahhh, terserah." Relia memejam menahan raungannya. "Bagaimana aku bisa membantu kalau kau tidak mau terbuka? Kita memang tidak cocok. Kau setuju, kan? Bagus. Pastikan saja kau tidak sampai menjual organmu karenanya." Relia berlalu meninggalkan Jisela dalam beberapa potong kebingungan. Jisela tidak tahu Relia berpikiran untuk membantunya, juga entah dalam hal apa.

Sebab teringat sesuatu, Jisela sedikit berlari mengejarnya. Seakan itu lebih efektif daripada memanggil nama Relia dengan sedikit sentakan.

Telunjuk Jisela menyenggol jemari Relia sesaat untuk menghentikan sekaligus meminta perhatiannya. 

"Begini ... aku lupa mengatakannya semalam." Jisela membasahi bibirnya yang mendadak terasa kering. "Kemarin aku ke kantor polisi. Mereka memutuskan menghentikan penyelidikannya."

"Kenapa kau tidak mengajakku? Kau memang selalu melakukan semuanya sendirian, tapi Papa dan Mama juga orang tuaku." Relia mendesah pelan. "Tapi, sudahlah. Lagi pula memang tidak ada yang bisa kulakukan meski aku ada di sana. Kita harus membicarakannya lagi nanti, aku sudah terlambat." Relia lanjut menuntun diri ke mobilnya. 

"Kau tidak ke perusahaan? Bukannya kau akan memeriksa daftar chef untuk event pemasaran?" Jisela agak berteriak. Namun, tetap tidak membawa perubahan pada arah langkah Relia.

Dalam pandangan Relia, dia tidak bisa melihat apa pun tentang kecelakaan itu. Memang sangat buruk menuduh pamannya sendiri sebagai dalang di balik kecelakaan itu. Dia sendiri tidak bisa memikirkan alasan kuat yang bisa menjadi motif Martin bisa bertindak sejauh itu. Tuduhan itu hanya berdasarkan fakta bahwa kemungkinan besar rem mobilnya dirusak di parkiran restoran Martin, didukung rekaman CCTV yang sengaja dihapus dan Martin yang awalnya berkelit bahwa kamera di sisi itu tidak berfungsi. 

Meski demikian, menghapus sebagian rekaman video alih-alih merusak kamera pengawas sejak awal juga terasa ganjil. Kalau kecelakaan itu memang terencana dan mereka yang merencanakannya, lebih aman membuat rusak CCTV daripada meninggalkan jejak penghapusan. Relia merasa menghadapi jalan buntu di ruangan tanpa cahaya.

"Jangan lupa malam ini ada pertemuan keluarga!"

Relia menutup pintu mobilnya bersama desisan tajam. "Pertemuan keluarga apanya," gerutunya. "Keluarga?"

"Aku akan ke tempatmu dan menyeretmu kalau kau sampai tidak datang!"

Relia menyentak sabuk pengaman samar-samar masih bisa mendengar teriakan Jisela. "Dia jadi sangat cerewet."

Di belakang pacuan mobil Relia, Jisela menggigit bibirnya. Kedua kelopaknya menutup begitu rapat. "Aku kelihatan bodoh sekali, kan? Menggelikan."


~-~


Meski mata Kiara tertuju pada minuman di depannya, telinganya menaruh perhatian penuh pada pembicaraan Kira dan seorang lelaki di meja belakangnya. 

Mereka ada di sebuah cafe 500 meter dari kampus. 

Kira tidak pernah serius mempertahankan hubungan asmaranya, hingga tanpa sadar mantannya sudah lusinan. Belakangan dia jadi mudah lelah, mungkin sudah saatnya dia pensiun.

"Kriss, maaf kita baru bertemu lagi sekarang." Senyum Kira mengembang menatap lebih dalam mata lelaki di depannya ketika tangannya digenggam erat. 

Lihat selengkapnya