Relia menyajikan secangkir teh ke meja. Menanti ibu Evia selesai meminum tehnya dan hingga keadaan cukup tenang.
"Evia rutin berkunjung ke sini sejak tiga bulan lalu." Relia memulai pelan-pelan.
"Kenapa dia ke sini? Bagaimana bisa dia kemari tanpa memberi tahu orang tuanya? Dia memang sudah kelas dua SMA, tapi aku ibunya."
Relia tersenyum teduh. Kedua telapak tangannya saling merangkap tak terlalu rapat. "Evia merasa kehilangan kasih sayang orang tuanya, karena tempat tinggalnya sebelumnya." Relia memandangnya berusaha meminta pengertian pada ibu Evia yang kelihatan terkejut. "Evia percaya dirinya bisa berakhir di sana karena dia tidak cukup baik dan menyusahkan, karena itu dia kesulitan memaklumi kesalahannya, bahkan kesalahan terkecil."
Relia memperhatikan ibu Evia yang tampak mengingat-ingat. Wanita itu mengatakan perkiraannya, perihal Evia yang datang mulai tiga bulan lalu, bahwa berarti itu hanya berkisar satu bulan sejak mereka membawanya pulang.
Relia melihat tatapan wanita itu melandai, ibu Evia menggigit bibir, menyembunyikan wajah dalam tundukan. Melalui gerak tangannya, Relia memahami wanita itu sedang menangis.
Relia mengulurkan sapu tangan.
"Tapi, dia tidak pernah mengatakannya." Ibu Evia terdiam sejenak, tanpa sadar menggenggan lebih erat kacu yang baru dia terima. "Dia sangat diam saat di rumah, karena itu kukira ...."
Relia menatap lebih lembut. "Mohon mengerti bahwa Evia marah dan merindukan kedua orang tuanya di saat bersamaan. Dia memahami perasaan bencinya itu sebagai sesuatu yang tidak bisa dimaafkan. Rasa takut akan ditinggalkan dan rasa bersalahnya atas kemarahannya menahannya untuk mendekat kepada orang tuanya, namun di saat yang sama, dia juga mengharapkan perhatian dari kedua orang tuanya."
"Seharusnya dia sudah tahu kalau itu bukan salahnya. Aku— aku memang hanya sibuk mengurus diriku sendiri, sampai tidak tahu apa yang dia pikirkan. Ini semua salahku," sesal wanita itu. "Kami seharusnya tidak meninggalkan Evia di sana, kami tidak ingin. Namun, saat itu hal tidak terduga terjadi, dan kami sedang kesulitan. Meninggalkannya di panti asuhan bukan solusi terbaik, kami yang memilih itu, kami merasa itu hal terbaik yang bisa kami lakukan meski nyatanya bukan. Dia pasti semakin marah ketika melihat adik laki-lakinya bersama kami ketika kami menjemputnya."
Relia tidak menunda untuk menambahkan, "Evia sangat menyayangi adiknya. Dia sedang belajar cara mengungkapkannya. Anda harus percaya padanya dan menunggu. Dia akan mengatasinya. Dia anak yang sangat cerdas dan cermat." Relia tersenyum meyakinkan. "Anda bisa memulai dengan lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Itu membantunya mengatasi perasaan kehilangan. Mohon jangan terlalu menekannya dengan pertanyaan-pertanyaan atas kunjungannya kemari."
Sepeninggal ibu Evia, Relia membawa secangkir teh yang baru diseduh mendekati jendela. Mengangkat lebih tinggi cangkirnya, menikmati aromanya sementara menatap ke luar.
~-~
Jisela mendongak mendapat debuman sebuah kotak yang kedengarannya cukup berat.
Sita tersenyum menepuk-nepuk dokumen teratas dalam kotak itu. "Ini laporan finansial perusahaan selama enam bulan terakhir yang Nona minta." Dia berdiri semakin tegak dengan wajah lebih meyakinkan. "Nona bisa tenang, saya benar-benar seperti pencuri ketika mengambil semua ini."
Pintu ruangan yang kembali dibuka seseorang menukas mulut Jisela melontarkan terima kasih.
Sita pamit undur diri, keluar dari ruangan setelah Jisela menyelesaikan ucapan terima kasih dan mempersilakan.
"Kau sudah berangkat kerja? Kau bisa mengambil cuti."
Irene tidak jadi duduk. "Apa kau tidak suka aku di sini?"
"Kau tahu bukan itu maksudku."
Irene duduk menghadapi Jisela yang menunjukkan rasa lelah melalui air mukanya.
"Aku sudah bicara dengan Relia semalam. Kalian sudah bicara?" Irene sudah menduga akan mendapat gelengan lemah darinya.
"Maksudku, ya, kami bicara, sedikit tentang itu."
Irene menegapkan punggungnya, merasa ragu tapi juga merasa harus menceritakannya. "Aku tidak hanya bicara tentang KTP itu. Aku memintanya mempertimbangkan untuk jadi psikolog-mu." Dia menanti reaksi Jisela. Namun, Jisela hanya diam menunggu lanjutan cerita itu dengan terus menatap.
"Lanjutkan saja, apa yang dia katakan?"
"Kau tidak seru sama sekali. Kau tidak kesal aku mengatakan itu pada Relia? Tidak penasaran? Mungkin saja dia menolak, kau tidak akan sakit hati kalau seperti itu?"
"Terakhir kali aku menduga-duga, itu berakhir buruk."
Irene mengakui kebenaran itu. Jisela memang harus mulai berhenti menduga-duga secara berlebihan.
"Jadi dia menolak?"
"Ya, tapi alasannya bagus. Aku baru tahu kalau menangani keluarga sendiri itu melanggar kode etik psikologi."
"Hanya karena itu?" Jisela kurang percaya saja. Dalam pikirannya, melanggar itu pun tidak masalah kalau tidak ketahuan. Mereka bisa saja melakukannya di rumah. Apalagi orangnya Relia. Jisela yakin, kalau Relia mau, itu akan diterabas.
"Memang bukan hanya karena itu. Dia bilang ...."