Relia melirik spion luar terpaku sejenak, sebelum berbelok ke rumah kakek dan neneknya.
Dia melewati begitu saja mobil lain yang berdiam di samping jalan masuk gerbang. Sekilas melihat Marcel berdiri di sebelah mobil itu, Relia yakin itu mobil ibunya Bella yang mengantar Bella ke sana.
Bella keluar mobil dengan wajah minim ekspresi. Melalui arah mata layunya yang tidak menatap satu pun dari kedua orang tuanya, dapat disimpulkan dia tak begitu antusias dengan pertemuan ayah dan ibunya.
Diana menurunkan sebelah kiri kaca pintunya. "Mama akan menjemputmu nanti."
"Aku akan mengantarnya pulang."
Diana hanya menatap pada putrinya, mengabaikan Marcel yang memberi usulan. "Telepon Mama kalau sudah mau pulang."
"Apa aku bocah SMA? Aku pulang sendiri."
~-~
Jisela yang mengancam akan menyeret Relia andai anak itu tidak menunjukkan batang hidungnya menjadi orang paling terakhir bersama Jeffi yang sampai di rumah kakek dan nenek mereka—kebetulan sampai secara bersamaan.
Kehadiran Jisela dan Jeffi menjadi awal makan malam mereka. Dentingan alat makan yang susul-menyusul seakan menyamarkan pergesekan asumsi yang belakangan cukup membakar.
"Jisela, Opa dan Oma rasa, sudah saatnya kau menikah."
Gerakan Jisela dalam menyendok makanannya terhenti. Begitu pelan menaruh alat makannya. Meski tidak melihat semua orang satu per satu, Jisela bisa merasakan beberapa orang menatap padanya. Kakek-neneknya, Kira, dan ibunya Dona yang terus memandang seakan menanti jawaban, serta Dona dan Jeffi yang memandang sekilas mungkin hanya ingin tahu raut wajahnya. Sebab terlalu berjauhan, Marcel, Bella, dan Kiara tak masuk dalam radar perabaan matanya.
"Supaya ada yang membantumu, sehingga kau tidak kesulitan."
Jisela tersenyum simpul tak bisa lebih tulus lagi. "Aku baik-baik saja, Oma, Opa. Aku sudah cukup mendapatkan bantuan." Jisela menatap sebentar ke arah Marcel. Bagaimana pun, kehadiran pamannya yang satu itu memang membantu.
Jisela sebenarnya cukup heran, bahwa solusi untuk kesulitannya adalah menikah.
"Bukankah makan malam ini diadakan untuk membahas keputusan kepolisian kemarin?"
Jisela tahu pertanyaan Relia itu bukan untuk menyelamatkannya, tetapi dia akan menganggapnya demikian.
"Lalu, bagaimana selanjutnya, Opa, Oma? Aku merasa Opa dan Oma cukup lega dengan itu, hingga mengadakan perjamuan seperti ini."
Relia tak gentar melihat kakeknya meletakkan alat makan bersama helaan.
"Kita tidak bisa melebihi polisi. Jika mereka tidak bisa menemukan bukti lanjutan, maka kecelakaan itu sudah pasti hanya kecelakaan. Kita harus menerimanya."
Kepala Relia menunduk, tetapi dengusan tawa samarnya tetap bisa didengar mereka. "Jadi, maksud Opa, kami harus mengakui itu tidak terencana, meskipun hasil investigasi teknis mobil Papa dengan jelas menyatakan kabelnya dipotong dan rekaman CCTV-nya dihapus?" Tatapan Relia terlempar pada salah satu sub keluarga di sana—Martin, Martha, dan Dona. "Kenapa kalian membuatnya begitu jelas? Bukankah seharusnya kalian sudah merencanakannya matang-matang? Seharusnya kalian merusak saja kamera pengawasnya."
Dona berdiri menyebabkan deritan kursinya. "Bukankah kau sudah cukup kurang ajar sebelum ini? Memangnya apa yang kami dapatkan andai melakukan pembunuhan itu? Kalian yang paling diuntungkan, kalian yang mendapat warisan!"
"Cukup!"
Mendengar bentakan kakek mereka, Relia menatap sang kakek seakan bukan masalah tatapan setajam itu mengarah padanya.
Dona duduk setelah mendapat tarikan dari ibunya.
"Kau akan terus begini? Memang mereka hanya ayah dan ibumu? Opa paham kau merasa sangat frustrasi, tapi kau tidak punya hak sama sekali memecah keluarga ini. Kenapa kau tidak mengurus saja adik-adikmu dengan baik? Kakakmu sudah sibuk dengan perusahaan, tidak bisakah kau lebih pengertian?"
Tangan Jisela mengepal di bawah meja. Dalam pandangan mata pada piringnya, Jisela ingin mendengar balasan Relia di sampingnya. Orang-orang di luar rumah mereka mungkin tidak tahu, tapi Jisela tahu dirinya hanya bisa dan selalu mengandalkan Relia untuk memperhatikan Kira dan Kiara.
"Kau tidak sadar Kiara memakai kacamata hitam?"
Kiara otomatis menunduk bahkan berpaling, meski jarak duduknya dengan Relia diisi Kira.
Suka tidak suka Kiara beberapa saat bertemu mata dengan Bella yang duduk di samping kirinya. Matanya yang tidak kelihatan dari luar mengancam orang seumuran Relia itu agar menjahit mulut tidak bilang apa-apa.
"Melihat reaksinya, alasan kompetisi taekwondo itu berarti bualan."
Relia tak banyak menaruh perhatian pada tambahan Dona barusan. Dia menghampiri Kiara. Melepas kacamata itu, menarik pelan dagu Kiara.
Kiara memejam merelakan Relia mengamati permukaan wajahnya.