"Ya, aku yang melakukannya." Pandangannya tak beralih ke mana pun selain wajah Relia. "Kau pikir aku membunuh kucing-kucing itu?"
"Yah, tidak mengejutkan kalau kau benar melakukannya."
"Akan kuselesaikan dengan Kiara, jangan beritahu dia!" Jisela berpaling setelah terpaku cukup lama pada wajah Relia. "Masih ada yang ingin kau katakan?"
"Pastikan kau benar-benar menyelesaikannya kali ini."
~-~
Di dalam JinBucks, Relia menunggu sampai restoran itu sepi dan tutup, sehingga Asha akan duduk semeja dengannya. Meski sudah terwujud seperti itu, Relia hanya menyedot es tehnya lalu membuang napas berat, berulang kali begitu sampai tetes terakhir.
Itu membuat laju napas Asha yang mencak-mencak. "Kau—kau pilek? Cepat katakan, awas kalau kau bilang tidak jadi!"
"Aku sempat bertemu Alé."
"Apa katanya?"
"Dia bilang mau bercerai."
Asha tersengap, rasanya hampir tak bisa berkata-kata. "Jadi, karena itulah dia pulang ke sini?" Namun, dia bertepuk tangan bersama senyum sangat lebar. "Wahh, ini waktu yang sangat tepat untuk merajut kembali cinta lama kalian. Kalian berpisah karena dia menikah dengan wanita lain, lalu sekarang dia ingin bercerai. Ini adalah kesempatan kedua bagi kisah cinta kalian. Perpisahan kalian sebelumnya adalah ujian untuk mengetes seberapa kuat cinta kalian pada satu sama lain."
Relia menatapnya tanpa ekspresi berlebih. "Kau menikmatinya?"
Senyum bersemangat Asha sirna sepenuhnya berganti berang. "Jangan buru-buru melayang, pikirkan, kenapa dia menceritakan itu padamu? Memang kau temannya? Apa kau ibunya? Dia hanya mencari keuntungan di mana pun. Dia membawa kesengsaraannya lalu hanya akan memanfaatkanmu. Dan bukankah beberapa hari lalu kau baru melihat mereka menjual kemesraan di cafe? Itu saja sudah aneh. Kau dengar?"
Kepala Relia bertumpu ke meja. "Di sini ada alkohol? Old fashioned, please."
Asha mendiamkan, merasa mungkin memang ketenangan yang Relia butuhkan.
Asha memandang wajah Relia heran. Baginya, Relia sungguh tidak masuk akal. Kalau dia yang di posisi Relia, sudah pasti dia akan jadi orang pertama yang tertawa paling keras mendengar curhatan pria itu. Setelah semua yang Alé lakukan, sudah seharusnya cukup tersisa kebencian dari Relia kepada laki-laki mata keranjang itu.
Setelah beberapa saat kesunyian, arah pandang Asha mengikuti kepala Relia yang kembali tegak.
"Aku pulang saja."
"Mau kuantar?"
Relia meletakkan selembar uang untuk es tehnya sambil menggeleng.
"Hati-hati." Asha memandang kasihan pada Relia yang berjalan pulang. Dia pikir inilah akhir pertemuan mereka hari ini, tetapi Delvin mengejar Relia sambil menenteng sesuatu.
Asha bergegas mengikuti kakaknya demi mencari tahu apa yang terjadi.
Delvin memberikan kantong kertas itu ke tangan Relia.
Melihatnya terdiam, Delvin menggaruk tengkuk. "Itu seafood asam manis."
Memahami kebingungan Relia dan dirinya sendiri, Asha berujar diselingi tawa canggung. "Kenapa Kakak tidak bertanya dulu? Relia tidak terlalu suka seafood."
"Itu memang bukan untuknya," jawab Delvin seadanya. "Berikan pada kakakmu. Katakan padanya itu dariku." Delvin tersenyum tulus.
Asha melirik Relia. Meringis melihat Relia menunduk memandangi paper bag itu. Dia menatap tak percaya pada Delvin yang masih saja cengengesan.
"Kenapa kalian diam saja?"
"Dasar ...." Asha memukul bahu Delvin cukup keras. "Bodoh sekali." Mendorong-dorongnya supaya cepat masuk ke dalam.
"Kenapa? Kenapa? Apa yang kulakukan?" Dalam desakan adiknya yang kadang dia rasa kurang ajar itu, Delvin berusaha menoleh pada Relia. "Itu banyak, kalian bisa berbagi! Kau juga harus mencobanya!"
Relia tak membuang lebih banyak waktu hanya untuk meratap. Tempat parkir itu sudah sepi. Matanya tak percaya melihat satu mobil yang tidak asing sejak tadi pagi. Dia melihat mobil itu di belakangnya sejak menuju tempat kerja, begitu juga ketika sebelum berbelok ke rumah kakek dan neneknya, lalu sekarang mobil itu ada di sana.
Relia melangkah lebih cepat mau menghampiri mobil itu. Namun, belum sampai lima langkah, mobil itu atret dengan tak santai sampai menimbulkan decitan. Itu adalah bukti kalau mobil yang sama membuntutinya sejak pagi.