Ketika Kami Kehilangan Dua Bintang

Alfania Vika
Chapter #23

23. Sangkar yang Terbuka

Kira ngulet meregangkan tubuh bersama lenguhan panjang sampai ruhnya bisa-bisa ikutan keluar. 

Dari menatap cermin setelah cuci muka dan ganti baju, Kira memandangi kasurnya. Haruskah dia berbaring sebentar? Hampir setiap pagi pertanyaan itu muncul seperti solusi cemerlang—yang tidak pernah Kira pilih. 

Melihat Kiara juga baru keluar dari kamar, Kira mempercepat langkah menyusulnya. Bersenandung selama berjalan berdampingan dengan putri paling tinggi dalam keluarga ini.

Kiara sedang menahan, tapi lama-lama jadi tidak tahan. "Bisa kau hentikan? Telingaku bisa mengumpat."

Kira tak peduli, meyakini, seperti biasa Kiara hanya cemburu pada keindahan irama buatannya. 

Wajah Kira maju sedikit untuk mengintip mata Kiara. Menemukannya kelihatan agak mendingan. 

Kira menepuk pundak Kiara dua kali lalu menuruni tangga lebih cepat bersama senandung semakin lantang.

Sampai di anak tangga terbawah, Kira melihat kakaknya baru keluar dari ruang kerja ayah mereka. Dilihat dari cangkir yang Jisela pegang, kemungkinan besar semalaman kakaknya di sana.

"Kau mau olahraga?"

Kira mengangguk, arah pandangnya mengikuti Jisela yang melewatinya ke dapur. Memperhitungkan itu, dia semakin bingung apa yang harus dilakukan, karena kelihatannya Jisela memang membutuhkan obat tidur. Kakak keduanya juga belum membahas hal itu bahkan setelah mengetahui Jisela mengonsumsi barbiturat.

Kira tidak bisa sangat berharap apalagi menyalahkan Relia, karena dia tahu bagaimana Relia memandang Jisela, sedangkan Jisela memperlakukan masalah serta timbunan perasaannya seperti barang eksklusif khusus untuk diri sendiri. Sampai Kira merasa, menahan sesuatu sampai di titik itu akhirnya meledak merupakan hobi Jisela, dan kalau dipikir-pikir, Relia juga begitu.

"Ada apa dengan orang-orang itu?" 

"Siapa?"

Raut Kira berangsur datar mendapat desiran halus tepat di sebelah wajahnya. "Jauhkan mulutmu!" Tak tahan lagi, Kira mendorong pipi Kiara hingga tertoleh ke samping. "Tolong sadar diri kalau mulutmu itu bau!"

Sudah sejak lama Kiara ingin sekali menggites mulut anak itu. 

Ketika Jisela menuju arah mereka, baik Kira atau Kiara sama-sama berdiri lebih tegak dan menutup mulut.

"Cepat siap-siap, kita makan di luar," ucap Jisela tanpa menghentikan langkahnya. 

Namun, arah pandang Jisela yang hanya tertuju pada Kiara sebentar menjelaskan satu hal pada Kira, bahwa dirinya tidak diajak.

Hati Kira sedikit sengak. Sesuatu sepenting atau sespesial apa sehingga hanya Kiara yang diajak sarapan di luar, sedangkan dirinya ditinggalkan? Kalau diperhitungkan, seharusnya Jisela merasa lebih percaya padanya, tapi justru Kiara yang diajak-ajak?

"Kia, nanti kau saja yang menyetir."

Kiara menghempas rambut sebahunya sebelum berlalu ke dapur.

"Aku memaksa!"

Di luar peradukan sentimen tiga orang di dalam rumah, Relia sedikit membungkuk mengintip keadaan di balik gerbang. Tidak ada apa pun, lebih tepat tidak ada mobil yang sejak kemarin membuntutinya. Daripada takut, dia lebih penasaran siapa orang itu. Mungkin saja itu Alé? Sesungguhnya hati Relia sedikit berharap itu Alé. Alé yang begitu merindukannya—begitu ingin melihatnya, tetapi merasa terlalu tidak pantas mengatakannya, sehingga hanya melihatnya dari jauh secara diam-diam. 

Betapa tololnya. Relia mencibir sendiri angan-angannya. 

Lihat selengkapnya