Kira meletakkan secangkir teh ke meja di ruang tamu mereka. Tak ada jejak air mata pernah meleber ke seluruh wajahnya padahal beberapa saat lalu dia seperti tak bisa menghentikannya.
Begitu duduk, dia memusatkan perhatian pada wanita paruh baya di seberangnya.
Kira tersenyum menunjukkan binar matanya. Mengatakan keinginannya tetap di sana, meski tahu kedatangan bibi mereka adalah untuk bicara dengan Relia.
Martha membalas Kira dengan senyuman yang sama tulusnya. "Bibi hanya ingin mengatakan sesuatu yang selalu mengganggu Bibi belakangan ini."
Baik Relia atau Kira mendengarkan dengan saksama tuturan panjang Bibi mereka, walau beberapa kalimat darinya terasa seperti menyentuhkan ujung jarum ke hati mereka. Itu nyelekit, tetapi tidak sampai melukai.
"Nak, hubungan Paman dan Bibi dengan kedua orang tua kalian masih sama. Bibi dan ibumu masih mengobrol seperti biasa, kami membahas anak-anak, bahkan menyiapkan pesta ulang tahun pernikahan Opa dan Oma kalian bersama. Bibi tidak mencoba menghalangi kalian mencari kebenaran. Lakukanlah. Paman dan Bibi juga ingin melihat kebenaran itu. Tapi, Bibi minta satu hal saja, jangan terus mengatakan hal menyakitkan seperti semalam di depan sepupu kalian. Dona mungkin juga membalas dengan nada kasar yang sama, tapi Bibi yakin hal ini sudah sangat mengganggu dan menekannya dari lama."
"Pamanmu bisa membangun restoran sampai sebesar sekarang berkat bantuan ayah kalian. Paman dan Bibi tidak akan pernah melupakannya. Kami juga bingung di mana yang salah dan bertanya-tanya, apa yang bisa kami lakukan untuk segera menyelesaikan ketegangan di antara kedua keluarga. Andai rekaman itu memang masih ada, Bibi tidak akan ragu memberikannya. Bibi tidak meminta kalian percaya, tapi mengingat sedekat apa hubungan Bibi dengan ibu kalian selama ini, Bibi minta tolong satu hal lagi. Kalian berempat tidak sendirian, jangan ragu memanggil Bibi ketika kalian butuh sesuatu, karena kita keluarga."
Mereka mengantar bibi mereka ke depan.
Selama memandangi mobil itu pergi, Kira memeluk lengan Relia. "Kak ...." Dia sedikit menyandar padanya. "Andai Mama masih di sini, Mama pasti akan menegur Bella seperti yang dilakukan Bibi Martha pada kita. Ya, kan?"
Tak terduga bagi Relia dan Kira, Martha datang hanya untuk mengatakan itu. Memang selalu seberharga itu seorang anak bagi orang tuanya. Tidak peduli sudah sebesar apa anak itu, mereka selalu ingin melindunginya.
"Ceritakan padaku yang dia katakan padamu, aku bisa menegurnya untukmu."
Kira menoleh, menatap lekat poros wajah kakaknya. Detik itu, Kira berjanji yang akan dia lakukan selanjutnya untuk Relia hanya mendukungnya. Kira akan mengusahakan tidak menyerang Relia dengan mengungkit mantan kakaknya lagi.
Terngiang perkataan Bella tentang Relia, Kira tak peduli bagaimana Relia memulai pendidikan tingginya, yang jelas kakaknya tidak kalah berusaha keras.
"Kakak tahu sendiri anak macam apa Bella itu. Aku hanya ingin mengajaknya ikut lomba musikalisasi puisi, tapi dia malah nge-reog."
"Kau sudah tahu dia selalu begitu, kenapa masih mengajaknya?"
"Kalau aku tidak mengajaknya lalu nanti aku menang, Bibi Diana atau bahkan Opa dan Oma akan mencibir karena aku tidak mengajak kerabat sendiri padahal aku tahu Bella suka main musik. Aku tidak akan memberi kesempatan pada siapa pun menjelekkan keluarga kita. Tidak akan kuberi kesempatan sedikit pun mulai sekarang." Kira bertekad penuh. Namun, kemudian menghela napas. "Sebenarnya aku juga agak kasihan padanya. Dia mengambil kedokteran karena dipaksa ayahnya. Sampai sekarang masih belum lulus, tapi ayah-ibunya sudah berpisah."
Mobil bibi mereka sudah sejak tadi menghilang, tetapi Relia masih memandang jauh ke depan. "Papa butuh seseorang untuk meneruskan perusahaannya. Papa jelas tidak akan memilih Jeffi."
Kira otomatis kembali menoleh pada wajah Relia. Mendengar Relia tiba-tiba membahas Jeffi dan ayah mereka, mengingatkan Kira pada ucapan Bella padanya, bahwa ayahnya selingkuh dengan ibu Jeffi. Kira tidak sampai membuat dugaan kakak angkat mereka ternyata kakak tiri mereka. Dia hanya tidak menyangka.
Kira tahu ayahnya pernah selingkuh, karena orang tuanya bertengkar hebat dulu. Namun, tak mengira ibu Jeffi yang jadi selingkuhan ayahnya.
"Berarti kita beruntung ada Jisela? Karena ada dia, Papa tidak mendikte kita harus mengambil jurusan apa." Perkataan pelan seakan penuh pertimbangan Relia berakhir seperti bertanya.
Kira masih menatap Relia, bedanya kini wajah kakaknya terasa lebih jelas karena fokusnya sudah kembali ke sana.
Kira menimbang-nimbang, mungkin waktunya menyentuh sisi Relia yang selama ini keras terhadap Jisela.
"Kakak yang beruntung karena ada Kak Jisel. Aku tidak yakin Kak Jisel benar-benar ingin jadi penerus Papa. Mungkin karena itu kita merasa berjarak dengannya. Dia sibuk memerankan perannya sebagai putri sulung, sampai lupa kalau dia juga kakak sulung—yang punya adik sepengertian Kakak."
Relia mendengus, membuang muka, bahkan meninggalkan tempatnya berdiri menuju mobilnya. "Aku tahu akal bulusmu!" serunya.
Kira mengejar berusaha berjalan berdampingan dengannya. "Bagaimana Kakak akan membantunya? Seperti Kakak membantu Kiara? Aku juga mau coba boleh tidak?"
~-~