Ketika Kami Kehilangan Dua Bintang

Alfania Vika
Chapter #25

25. Tidak Suka tapi Tetap Cinta

Malam itu, memasuki rumah, Jisela menenteng sebuah paper bag yang cukup jika diisi sepasang sepatu atau satu setel pakaian. 

Seperti dalam kebanyakan momen yang telah terjadi, dia hanya lewat meski radar pandangannya mendeteksi adanya Kira dan Kiara di sofa ruang tengah menatap ponsel masing-masing.

"Ada Oma, Kak. Mungkin di dapur."

Itu menghentikan langkah Jisela menoleh ke asal suara Kira.

Kira melepas mata dari ponsel ke Jisela, tetapi titik pandangnya segera berubah pada barang yang dibawa kakaknya.

Mata Kira berbinar, mungkin kakaknya cukup sadar bahwa ia sedikit tersinggung karena tadi pagi hanya Kiara yang diajak, walau dia sudah tahu mereka berdua pergi mengambil kucing-kucing Kiara.

"Ini bukan untukmu, tepatnya bukan milikmu," sergah Jisela menyela angan-angan Kira. "Kenapa Oma kemari?"

Wajah Kira lebih tertekuk dari sebelumnya. Mendadak acuh tak acuh kembali memandang ponsel. "Entah katanya mau makan malam di sini, mungkin karena semalam kita pulang duluan."

Terserah. Jisela berlalu tanpa benar-benar dengar jawaban Kira yang lebih mirip gerutuan.

Masih menatap ponselnya, Kiara terkikik kecil. Membuat wajah Kira semakin masam, cukup yakin tawa Kiara itu untuknya.

Meski dengan wajah terlipat, Kira menyeret diri mendekatinya. "Kau tahu, sepertinya ada yang mengikutiku saat jogging."

Bola mata Kiara bergulir ke pojok kanan atas, tengah mempertimbangkan harus mengatakan sejujurnya dan menanggung kesaltingan Kira yang tak tanggung-tanggung atau cukup mengabaikan. 

Finalnya dia mengangguk-angguk dengan bibir melebar tapi tak sampai tersenyum. "Kak Jisela menyuruh orang menjagamu."

Hampir sampai ke pintu kamar Relia, tanpa sadar genggaman Jisela pada tali tas itu mengerat. Mendadak merasa tak yakin.

Jisela sudah mengetuk pintu Relia beberapa kali, tetapi tak berbalas. 

Dia menekan gagang pintu, merasa ini kesempatan bagus untuk langsung masuk dan menaruh paper bag itu tanpa ketahuan, karena Jisela yakin kali ini pun mereka akan bertengkar kalau sampai Relia tahu isi paper bag dan Jisela sebagai pembawanya. Relia akan buru-buru menilai buruk tindakannya dan Jisela sangat sadar dia kesulitan menahan diri ketika niat baik dan tindakannya yang menurutnya sudah benar justru dikritik tajam.

Membuka lebar pintu itu setelah sekian lama, pandangan Jisela seperti ditarik ke balkon tertutup tirai kamar Relia. Seperti dalam kebanyakan waktu, dia mengabaikan seakan tak terpengaruh. Langkahnya tertuntun pada meja dandan Relia yang dipenuhi lebih banyak buku daripada perlengkapan rias. Pandangannya berpindah ke meja belajar di sebelahnya, tepat di depan jendela, yang juga ditumpuki buku.

Jisela meletakkan sedikit asal tas kertasnya ke kursi rias. Meraih salah satu buku meraba sampulnya. Bibirnya tertarik tipis. "Sejak kapan dia suka baca yang serius begini?" 

Jisela menatap ke dalam paper bag yang tadi dia bawa, sepatu hak tinggi Relia. Jisela mengingatnya, bagaimana dirinya sering kali terpancing dan berakhir terlalu menunjukkan sisi emosional yang sepantasnya cukup dirinya yang tahu, karena itu tidak ada gunanya. Tidak ada yang menghargai sisi itu. Kepeduliannya tidak dibutuhkan siapa pun. Namun, tetap saja dia terlalu peduli, sampai-sampai dia membayar orang untuk mengawasi Relia.

Jisela tidak meragukan karakter Relia, meski tahu seberapa besar Relia menyerahkan hatinya pada pria itu. Dia yakin Relia sadar di mana tempatnya. Hanya saja pria itu adalah penipu ulung. Itu bisa saja menghancurkan citra perusahaan sekaligus reputasi keluarga mereka. Tidak ada alasan lain.

Jisela mengingat betapa butanya anak itu setahun lalu.

"Dan sebelum menikah, aku ingin bagian kami semua dibagi. Aku ingin mengambil bagianku untuk kukelola sendiri."

Setiap tarikan dan hembusan napas Mario terdengar lebih jelas. "Kau berharap Papa dan Mama cepat mati?" Pertanyaan Mario menggantung di udara tanpa jawaban.

"Relia ...." Fina berusaha tetap menatap teduh putri keduanya. "Kalau kau masih ingin melanjutkan pembahasan ini, katakan masalah yang sebenarnya ke Papa dan Mama. Kau bahkan belum menyelesaikan kuliahmu. Kau tidak pernah membahas apa pun tentang hal ini sampai malam ini. Kau seperti sedang terdesak. Mungkin kita bisa menemukan jalan keluar lainnya."

Lihat selengkapnya