Ketika Kami Kehilangan Dua Bintang

Alfania Vika
Chapter #26

26. Isi Hati Relia

Relia baru kembali menutup pintu ketika pinggangnya ditarik. Tangannya tergerak menahan bibir Alé yang hampir menyentuh miliknya, berlanjut menariknya menjauhi teras. Membawa Alé ke pinggir rumahnya, menuju sudut yang kemungkinan sulit dijangkau mata.

"Kau gila?" Relia berujar dengan bisikan paling keras.

"Kenapa? Aku tidak melihat masalah." Alé membalas dengan gaya bisikan yang sama.

Ia menarik Relia semakin dekat, hingga hanya tersisa sejengkal jarak antar muka mereka. Relia mendekatkan wajahnya menyambung itu dengan ciuman. Setiap detik ciuman itu berlangsung, Relia hanya merasakan semakin sempurna hidupnya, sungguh lembut seluruh dunia memperlakukannya.

Alé menatap terlampau dalam ketika bibir mereka berpisah. Membelai pipi Relia penuh ketidakberdayaan cintanya.

"Kapan aku akan dipersilakan masuk dan bertemu orang tuamu? Aku hanya lelaki biasa, Relia. Saat bersamamu, aku memikirkan masa depan. Aku memimpikan menikah denganmu."

Relia menyentuh punggung tangan Alé yang masih menempel di pipinya. "Sayang sekali belum bisa malam ini. Sedang ada sedikit ketegangan di rumah. Kita juga tidak bisa berlama-lama."

Mata Alé masih sama lembutnya, namun Relia dapat melihat rasa sakit mengintip di balik kilaunya. Dia pun tetap pura-pura tak tahu dan mendiamkannya.

"Mereka sangat beruntung memilikimu."

Relia menatap dengan kedalaman yang sama. “Aku sangat beruntung memilikimu.”

Kenangan itu masih terasa hangat di hati Relia, bahkan sampai kini, saat hubungan mereka telah lama berakhir.

Seperti membuka album setelah sekian lama, semua terasa sangat sama untuk Relia. Senyum Alé, tatapan lembutnya, bahkan sikap manisnya selama menukar makanan mereka. Gerakan kalem Alé menukar mangkuk mereka yang berisi makanan berbeda sangat beralasan. Ia tahu Relia kurang menyukai makanan itu.

"Cewek memang selalu begitu—"

"Sering salah pilih?" potong Relia segera. Itu hanya satu dari jutaan kalimat yang pernah diucapkan pria itu padanya. Ternyata sampai sekarang pun masih tersimpan baik di hatinya. Benar-benar terasa seperti membuka album setelah sekian lama.

Bibir Alé menyimpulkan senyum, mengangguk kecil.

Relia mengikuti dengan lengkung bibir yang sama. "Tidak kusangka kau berani mengajakku ke restoran seramai ini. Orang-orang mudah salah paham."

Alé tak membalas cukup lama, seperti sedang mempertimbangkan baik-baik ucapan yang tertahan di ujung lidah. "Aku ingin kembali padamu. Aku menikahi istriku karena tidak punya pilihan lain, tapi menikahimu adalah impianku."

Di lain posisi dan situasi, pikiran Jisela terfokus pada makanan saat menyendok, lalu pada Relia selama mengunyah.

Di seberang meja, sendok Kira menendang lauk ke sana kemari sambil mesam-mesem terngiang laporan Kiara, bahwa Jisela sampai meminta orang untuk menjaganya, padahal dia hanya jogging keliling kompleks.

Kiara makan dengan tenang dan seperti seharusnya. Demi mencegah pikirannya mengembara pada kepahitan yang seakan selalu siap menyergap, selama makan dia menyibukkan pikiran dengan mengira-ngira seperti apa urutan memasak semua makanan di meja.

Dalam keheningan itu, Nenek Bumantara menatap satu per satu wajah cucunya—yang tidak cukup informatif. Meski begitu, dengan sendirinya Nenek Bumantara sampai pada kesimpulan, ketiga cucunya masih dilanda kesedihan dan kebimbangan terkait pertemuan keluarga tempo hari.

"Cucu-cucu Oma sudah besar-besar. Makannya sedikit-sedikit, bahkan tidak ada suara dari piring dan sendoknya, seperti sedang makan dengan presiden."

Kiara mengernyit tidak jadi tersenyum menatap aneh Kira yang terbahak sampai memukul-mukul meja.

"Dulu saja saat masih kecil, kalian rebutan disuapi dan berlomba siapa yang mangapnya paling lebar. Kira-Kiara yang paling heboh, tapi Oma tahu persaingan diam-diam Jisela dan Relia yang paling sengit."

"Justru repot kalau sampai sekarang kami masih begitu, Oma."

Jiwa Kiara tersenyum miring sementara fisiknya mengangguk seakan satu pandangan dengan Kira. "Bisa-bisa Oma harus menyuapi Kira pakai sekop."

Jisela tak menyumbang apa-apa dalam obrolan itu.

Tadi ketika nenek mereka bertanya keberadaan Relia, Kira menjawab, Relia mengabari akan pulang malam untuk menyusun laporan. Jelas-jelas bohong bagi Jisela.

Dia ingin sepenuhnya percaya pada Relia, tetapi rasanya seperti membohongi diri sendiri, karena kini kekhawatiran itu sudah tak tertolong lagi, hingga menjadi kepercayaan Relia tengah menyirami kisah kasih lama sampai bersemi kembali. Masalah amplop berisi panggilan evaluasi dari majelis pusat psikologi itu saja sudah cukup meresahkan hati. Apa yang telah dia lakukan?

Hati Jisela berdesing. Kenapa Relia belum sadar juga laki-laki itu hanya memanfaatkannya? Kalau nanti benar mendatangkan masalah, siapa yang harus ikut-ikutan menyelesaikannya? Apa anak itu tidak ingat yang dikatakannya pada Kira? Masalah yang dia buat tidak akan hanya berdampak padanya, karena dia tidak hidup sendirian.

Meski tidak bersuara keras, kepalan Jisela menggetarkan meja makan. Mengundang semua mata menatap padanya. Detik itu juga tersadar.

Tatapan Jisela menyapa Kira dan Kiara, berakhir pada nenek mereka. "M-maaf." Melihat wajah neneknya, Jisela tahu neneknya lebih butuh penjelasan. "Maaf, Oma," ulangnya.

Dari atas meja, tangan Jisela turun mengusapkan telapak tangan yang dingin sedikit basah pada celana. "Tiba-tiba aku dapat ide soal proyek perusahaan, jadi terlalu bersemangat."

Memperhatikan titik pandang neneknya, Jisela menatap satu per satu kancing piyamanya, memastikan keseluruhannya tertutup.

"Mau langsung tidur?"

"Sepertinya, karena sering pulang malam, Kak Jisel jadi terbiasa langsung ganti piyama, Oma," sahut Kira. Piyama Jisela juga mengingatkannya akan kemungkinan kakaknya tidak tidur semalam bahkan mungkin dua malam, sehingga ingin cepat-cepat berbaring sekarang.

"Belakangan Kak Jisel kesulitan—"

Jisela segera menambahkan, "Karena juga tidak akan ke mana-mana lagi, cuma di rumah."

Percakapan itu berakhir setelah neneknya lagi-lagi membahas pernikahan, berkata akan mencarikan pasangan. 

Melalui dengusan dia menghempas isi kepala yang makin semrawut sebagian besar disebabkan Relia belum pulang juga.

Lihat selengkapnya