"Aku rasa, selingkuhan Papa memang sebegitu cantiknya hingga—"
"Jangan membandingkan Mama dengannya!"
"Kau tahu siapa dia."
"Tidak." Jisela menjawab tanpa menunjukkan sedikit pun keraguan.
"Itu bukan pertanyaan."
Jisela berpaling ke samping menembus jendela mobil. Menyembunyikan wajah dari Relia. "Kau membuatku tidak nyaman."
"Kau sempat melihatnya, kan? Apa sulitnya menjawab dengan jujur? Aku hanya ingin tahu, apa tidak boleh? Kenapa tidak boleh?"
Jisela mepet ke pintu mobil menjauhi Relia. "Jangan bicara padaku."
Relia menyerah terus menggali. Tubuhnya lebih miring untuk mengintip apa yang dilakukan Jisela. Merasa cukup mendapatkan informasi, ia menghentakkan diri ke sandaran kursi.
"Aku hanya mengajakmu. Kenapa kau mengajak Dona ke mana-mana? Kita putar balik kalau kau sampai mengirim pesan itu padanya."
"Pasti rik-rik kalau hanya berdua," gumam Jisela seperti bicara sambil berkumur.
"Nanti aku yang jadi kacang kalau kau mengajak Dona."
Jisela tidak menanggapi lagi, cuma meresapi dalam diam. Menurutnya itu topik terlarang yang memang seharusnya tidak dijawil-jawil.
Tanpa ragu Relia menarik kencang jas sekolah Jisela. "Hapus tidak pesannya?" ancamnya.
"Iya, Kasar!" Dahi Jisela berkerut sebab kesal, tapi kerutan itu berubah jadi penasaran melihat senyuman Relia.
"Kau bisa mulai menganggapku sebagai setengah temanmu. Rasanya tidak nyaman kau lebih percaya pada Dona daripada aku, Kira, atau Kiara. Dasar!"
Jisela terdiam, masih terbayang-bayang senyum Relia. Itu senyuman tidak biasa. Terlalu lebar. Apa dia mencoba terlihat imut? Jisela berlagak ingin muntah.
Namun, saat dia mengangkat pandangan, Relia berdiri di pembatas balkon. Posisi Jisela tertarik begitu jauh darinya. Tidak ada apa pun selain pembatas balkon yang diinjak Relia dan latar belakang putih di sekeliling mereka.
Punggung Relia memutar. Mereka saling menatap. Jisela hanya melihat keputusasaan di matanya.
Jisela terpaku di tempat dengan napas tercekat. Air matanya jatuh menyadari, sesungguhnya mata Relia sangat memohon pertolongan.
"Sudah kulakukan semua yang kubisa, tapi aku tetap pecundang. Aku selalu menjadi aib Papa dan Mama." Relia menggeleng. "Tidak selalu ada pelangi setelah hujan."
Setelah itu tubuh Relia menghempas keras ke bawah.
Kelopak mata Jisela terbuka cepat dengan tubuh sedikit menyentak. Genggamannya pada selimut melonggar. Dalam cahaya temaram itu memandangi atap sebentar, dari baunya mengenali ini kamarnya.
Dia mengernyit menelan ludah merasakan tenggorokannya kering. Mencari air di nakas samping kanannya. Meski yang dicarinya tidak ada, dia jadi tahu dirinya diinfus.
Jisela tersentak hampir saja teriakannya keluar sadar ada wajah Relia tepat di sisi kirinya.
Dia buru-buru diam kembali menengadah ke atap. Bernapas lebih pelan. Bertanya-tanya pukul berapa sekarang, karena ketika dia melirik hingga memandang lebih dalam, Relia memang tertidur.
Ucapan Relia berputar jernih dalam ingatannya. Satu hal terpampang jelas seperti merajami egonya. Dia memedulikan banyak hal, kecuali ketiga adiknya. Dia kembali melakukan sesuatu sekenanya, bahkan tak sampai setengahnya. Dia kembali ke rumah sepertinya untuk adik-adiknya, tapi tidak pernah benar-benar ada untuk mereka. Segala pemikiran dan kepeduliannya berpusat pada keresahannya, ketakutannya, dan hanya tentang dirinya—yang sangat menderita batinnya dan merasa paling pantas meluapkan isi hati tanpa menyaringnya. Karena semua orang sudah seenaknya, tidak ada lagi yang pernah lebih menahan diri daripada dirinya.
Meski telah mendapat semua tuduhan kasar itu, Relia masih tidur di sampingnya, bahkan kini Jisela menyadari Relia terlelap sambil mencubit lengan piyamanya.
Jisela mengusap pipi merasakan kehangatan dari ujung matanya bergerak turun membentuk segaris jejak air. Ia menuntut diri segera mengatur napas berupaya tak sampai terisak, mengeluarkan hembusannya melalui bibir.