Ruang evaluasi Majelis Wilayah Psikologi berisi sembilan orang, termasuk Relia.
Dia duduk di sisi kanan. Memangku kedua tangannya yang mengembun dalam sejuknya pendingin ruangan.
Relia tahu prosedurnya, namun tetap saja sidang ini akan menentukan integritas dan profesionalismenya di mata para senior yang jauh lebih berpengalaman darinya.
Tim Pengelola Aduan telah memaparkan temuan mereka bersumber dari laporan beserta catatan SOAP dan evaluasi personal Relia. Ketiga anggota tim mengidentifikasi kasus ini sebagai pelanggaran yang perlu ditindaklanjuti.
"Saudari Relia ...." Ketua rapat hari itu mengangkat pandangan dari dokumen di meja. "Kami mengundang Anda pada Sidang Dengar Pendapat ini untuk memberikan klarifikasi. Silakan jelaskan mengapa Anda memutuskan memberikan konseling kepada adik Anda, mengingat jelas adanya potensi konflik kepentingan dan pelanggaran etika profesional di sana."
Relia menarik napas lebih panjang. "Adik saya ...." Ucapannya terjeda sejenak. Perhatian Relia semakin dalam menyelami wajah tanpa emosi Kiara yang seolah tengah menatapnya. "Saya melihat tanda-tanda depresi yang mengkhawatirkan padanya."
"Saya tidak berniat mengambil peran sebagai terapis resminya. Saya telah membawanya menemui rekan sejawat untuk terapi, tapi adik saya mengalami episode disosiatif dan tidak mau bicara kepada siapa pun. Untungnya, dia mau bicara kepada saya. Sebagai seorang kakak, dan sebagai satu-satunya orang yang mungkin dapat meraihnya, saya merasa hanya saya yang dapat menolongnya. Maka, saya mengambil posisi sebagai terapisnya."
"Anda menyadari risiko yang Anda ambil?"
"Saya sangat menyadarinya." Ibu jari Relia menekan lebih kuat jari-jari lainnya.
"Setiap sesi terasa seperti diri saya terbagi menjadi dua. Saya mencoba menerapkan teknik yang saya tahu, namun selalu ada reaksi emosional yang tidak dapat saya hindari. Saya terus mencatat semua progres atau ketiadaannya dalam format SOAP, berharap dengan itu dapat menjaga objektivitas saya, tapi pada akhirnya itu tidak cukup. Saya tahu hal tersebut tidak dapat dibenarkan, ini hanya penjelasan atas keputusan impulsif yang saya sesali secara profesional." Meski sempat mundur maju di tenggorokan, ia melanjutkan, "Tetapi, tidak sebagai kakaknya. Saat itu, saya hanya berpikir untuk membantunya, dengan cara apa pun yang dapat saya lakukan, baik sebagai kakak atau psikolognya."
"Menurut Anda, apa dampaknya terhadap adik Anda?"
Pikiran Relia berkelana. Mengizinkan time lapse perubahan ekspresi wajah Kiara diputar dalam kepalanya.
"Mengenai hal itu, saya tidak dapat memberikan jawaban mutlak. Adik saya sempat stabil, tapi dalam sesi terakhir, semuanya seakan runtuh. Dia menunjukkan gejala-gejala yang mengarah pada ideasi pasif untuk menghilang dan keinginan untuk tidak merasakan apa-apa lagi, yang saya interpretasikan sebagai indikasi depresi berat dan penolakan total terhadap rasa kehilangan." Dahi Relia sedikit mengerut. Mengusahakan kelopaknya bertahan memikul air mata cukup sebagai genangan.
"Di titik ini saya merasa benar-benar telah melewati batas profesional dan berubah peran menjadi kakaknya." Titik pandang dan pikiran Relia kembali ke ruangan itu.
"Konfrontasi langsung saya yang didorong oleh rasa putus asa seorang kakak yang ingin membangunkan adiknya, entah bagaimana, berhasil menembus dinding penolakannya. Dia akhirnya mau menghadapi rasa sakitnya. Dia bersedia mengunjungi tempat-tempat yang sebelumnya sangat dia hindari. Dari sudut pandang klinis, ini adalah breaktrough yang signifikan, meskipun cara saya mencapainya tidak konvensional dan melanggar prinsip etika."
Ruangan itu dipenuhi suara membolak-balik kertas serta beberapa kali coretan pulpen begitu Relia selesai berucap.
Ketua rapat menutup map.
Relia diminta menunggu di luar, sementara majelis mendiskusikan apakah tindakannya tergolong pelanggaran atau ketidakberdayaan yang mungkin dapat dimaklumi. Jika majelis mengakuinya sebagai pelanggaran, selanjutnya akan disampaikan sanksi yang dia terima.
Relia duduk di kursi panjang depan ruangan. Punggungnya beberapa kali menegak mencari-cari kenyamanan yang tak ditemukan. Meskipun ia telah mempersiapkan diri, bahkan dia sendiri yang menempatkan diri pada situasi ini, tetap saja ada denyut cemas yang ternyata tak bisa dihindari.
Relia menghidupkan koneksi internet ponselnya. Mengharapkan paling tidak satu notifikasi pesan dari orang yang dia kenal, tidak harus sampai menyemangati atau menanyakan perasaannya, karena memang tidak ada yang tahu tentang situasinya saat ini. Hanya satu pesan biasa yang tidak penting, entah apa pun itu, tapi tidak ada sama sekali.
Relia menunggu dalam kesunyian, hingga dia kembali dipanggil masuk.