Kiara berjongkok di teras sejak beberapa saat lalu. Memandangi kucing-kucing, sampai pesan Relia diterima ponselnya.
Sedikit cemberut, ia mendekatkan lubang speaker ke bibir. "Bukan menyetir yang jadi masalah. Padahal aku sudah tenang Kakak mau ikut. Kakak selalu tahu yang harus dikatakan saat semuanya tidak tahu mau membicarakan apa lagi. Aku agak malu bertemu Papa Mamanya Theo habis nangis-nangis kapan hari itu." Kiara mengirimnya setelah mendengarkan rekaman barusan satu kali.
Kiara mendapat balasan dengan cepat.
"Jangan banyak alasan. Dengarkan baik-baik ...."
Kiara tersenyum menilai itu lucu, di saat yang sama merasa antusias mendengar dua kali deheman kakaknya. Seperti yang dia bilang, baginya, Relia selalu punya kalimat yang tepat.
"Kia ... kita hanya sedang berusaha mengobati luka kita masing-masing. Kita tidak egois karena peduli pada rasa sakit kita, kita berhak untuk itu, kita harus begitu. Bukan egois atau hanya peduli pada diri sendiri, itu alamiah. Justru artinya logika kita masih bekerja, karena kita harus memastikan punya kapasitas untuk membantu. Kau dan Kira sudah berusaha, mungkin karena itu akhirnya dia memutuskan berhenti."
"Kak Jisela tidak menyalahkanmu. Dia tidak butuh kesempurnaanmu, dia hanya butuh tahu, bahwa kau selalu ada untuk menggenggam tangannya seperti apa pun keadaannya, dan kau sudah menunjukkan itu."
Sesuatu dalam hati Kiara berdesir. "Kakak baik sekali." Bibirnya mengukir bentuk antara senyum penuh terima kasih dan menahan ngilu. "Aku mungkin tidak akan selalu tidak ketakutan, aku akan sedih dan kadang hatiku akan terasa sakit sekali. Tapi, Kakak selalu menggenggam tanganku, Kakak selalu begitu."
Kiara memberi jeda untuk mengubah nada suaranya menjadi lebih meyakinkan. "Kalau Kakak mungkin ketakutan atau sedih, tolong genggam tanganku juga saat itu."
Di dekat pintu, tatapan Jeffi terpaku pada bagian belakang kardigan coklat muda Jisela, seolah baru mengenalnya. Persis cara Jisela memandangi Kiara detik itu.
Jeffi baru tahu, Jisela juga orang biasa yang bisa terpuruk. Selama ini yang terlihat di matanya hanya keangkuhan seolah cuma itu yang dimiliki Jisela. Kenyataannya, Jisela punya banyak, tapi hanya satu itu yang diperlihatkan padanya.
Jisela mendekati Kiara beberapa langkah. Melalui Kira yang sering kali menjadi pusat informasinya tanpa diminta, dia tahu ke mana dan kenapa Kiara memutuskan membawa kucing-kucing itu.
"Kuantar." Faktanya, dia ingin menyapa dengan cara berbeda. Misalnya, pakai pertanyaan "sudah menyerah?", melanjutkan dengan mengejek alasan Kiara mengantar kucing itu sebenarnya karena sudah tidak tahan oleh kotorannya. Namun, rasanya tidak pantas dan kasar, karena semua yang dilakukan Kiara bersumber dari rasa sakitnya, dan candaan seperti itu terasa meremehkan luka hati Kiara.
"Kalau tidak mau, naik taksi saja," lanjutnya, sebab Kiara menoleh tanpa berkata apa-apa. "Sulit mengubah nada bicaraku yang menyebalkan. Aku akan berusaha mengubahnya."
Kiara bangkit, menghadap Jisela membawa senyum lurus. Tanpa peringatan dan tanda, memeluknya begitu saja. "Kalau lain kali masih terlalu sulit mengubahnya, Kakak tinggal memelukku." Kiara merapatkan lingkaran lengannya, menyandarkan kepala pada pundak Jisela. "Seperti ini."
Jisela mendadak lupa cara menarik napas.
Jeffi masih di tempatnya. Sedangkan, di belakang semua itu, Kira bersedekap sewot melihat tingkah Kiara.
Kiara tidak akan begitu kalau padanya, selalu sok cool dan sok cuek. Berbeda kalau pada orang tua atau kedua kakak mereka.
Perkumpulan tidak langsung di teras itu berakhir dengan Jeffi mengajukan diri mengantar Kira sepaket dengan Kiara dan kucing-kucingnya. Sejak pengajuan diri Jeffi dibuat, Jisela memutuskan tetap di rumah. Kiara yang meminta Jisela ikut mengatakan, Relia tidak jadi pulang. Namun, keputusan Jisela tidak banyak berubah. Dia tetap di rumah, dalam hati menambahkan, akan menunggu bahkan menyusul Relia kalau tidak pulang-pulang.
Menurutnya, Relia bukan tidak ingin pulang, tapi ingin menghindarinya. Jadi, siapa tahu, Relia meminta Kiara mengajaknya, lalu pulang karena mengira semua orang pergi.
Tak berselang lama setelah kepergian Jeffi, Kira, Kiara, dan para kucing, bel pintu rumah Bumantara memang dipencet. Sayang sekali bukan oleh orang yang Jisela nantikan.
Dalam mobil yang biasa dipakai Jisela, Jeffi beberapa kali memandang singkat ke kursi belakang, tempat Kiara tak henti-henti mengeong.