Ya, ada baiknya memang manusia berhati-hati dengan egonya sendiri.
***
"Fa, ini desain cover yang lo buat, sumpah ya gue habis pikir. Ini itu cerita remaja Fa! Kenapa lo kasih desain kayak bocah gini? Inimah pantesnya buat sampul majalah Bobo!"
Shafa menghela napas panjang, kemudian ia ternyum simpul. "Oke Bang, ntar gue revisi lagi. Gue pelajari naskahnya dulu ya. Gur janji lusa bakal jadi."
Anjas mengusap wajahnya kasar, lalu ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. "Lo kenapa si Fa? Akhir-akhir ini kerja lo jelek banget asli. Mana sering ngelamun. Lo lagi ada masalah?"
Shafa menggeleng, "Gak kok."
"Mata lo, dan semua hal bodoh yang lo lakuin, gak bisa bohong Fa."
"Maaf banget kalau itu ganggu lo Bang."
"Ya jelas ganggu! Kita itu penerbit mayor Fa, kalau desain cover aja jelek, reputasi kita gimana? Tolong Fa, apapun yang lagi lo hadapi sekarang, tolong jangan lo paksain. Kalau lo gak mampu, gue bisa suruh ke orang lain dan lo bisa kerjain yang lain yang lebih mampu lo pertanggung jawabkan. Kalau kayak gini kan, lo malah ngecewain gue. Lo yakin masih mampu?"
"Gue bakal kasih desainnya lusa. Kalau gue gak mampu, lo bisa pecat gue. Thanks, Bang."
Anjas mengerutkan dahinya dengan kedua tangan terangkat ke udara, "Fa? Are u kidding me? Shafa?!"
"Lusa ya Bang! Tunggu aja!"
Shafa menghela napas, lagi. Beberapa kali sebelum akhirnya ia memilih pergi dari hadapan pintu ruangan Anjas, atasannya.
Sepertinya, Shafa butuh minum. Gadis itu melangkahkan kaki ke arah dapur, kemudian meraih air dan meminumnya hingga tanda. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah, menghela napas lagi.
"Gak makan siang Fa?"
Shafa melirik Dito yang baru saja datang membawa bungkusan. Kemudian gadis itu menggelengkan kepalanya, "Gak, gue diet."
Dito terkekeh, "Badan krempeng gitu, diet?"
"Kalau lo dateng cuma buat ledekin gue, itu pintu keluar terbuka lebar."
"Galak amat yang abis putus."
Shafa mendelik, "Dito!"
"Dah! Gue mau makan siang!"
Shafa menghela napas lagi. Seolah tak ada hal yang lebih menarik yang harus ia lakukan selain menghela napas.
Hari-harinya begitu tak berarti. Tak ada harapan, tak ada semangat, tak ada impian. Semuanya lenyap begitu saja ketika ia memilih untuk pergi. Padahal, apa yang salah dengan pergi? Bukankah ketika kita tak dapat lagi bertahan disebuah pilihan, pergi adalah jalan yang menyenangkan? Lantas mengapa semuanya begitu mengerikan?
Shafa berjalan keluar dari dapur kantor dan berniat mencari makan karena tiba-tiba ia lapar. Namun, ucapan-ucapan penyemangat dari Iyan datang menghantui pikirannya.
"Sebel akutuh, apa-apa serba kena marah, apa-apa serba dikritik! Dipikir bikin desain tuh gampang apa?!"