Hidup di dalam praduga hanya akan membunuhmu dengan tanda tanya.
***
Rasanya, Iyan ingin pulang dan mengadu kepada bahu yang dulu pernah menyambut kepulangannya. Iyan ingin beristirahat dan melepas penat di dalam pelukan yang hangatnya tidak pernah hilang sejak pertama kali ia menjajahi. Iyan juga ingin rasanya bercerita dan menerka-nerka kemungkinan yang terjadi, dengan segelas susu coklat dan biskuit regal.
Rasanya... Iyan benar-benar merindukan Shafa di hidupnya. Iyan tak akan menelepon Shafa seperti orang bodoh sebagaimaba yang ia lakukan kemarin malam. Lagipula, Iyan sudah berjanji bahwa Iyan takkan ganggu Shafa lagi. Kecuali, kalau Shafa yang menghubungi Iyan dulu. Namun, apakah mungkin? Bukankah Shafa juga sudah muak dengan Iyan?
Namun, tiba-tiba Iyan teringat ucapan Shafa kemarin malam:
"Jangan lemah, meski kamu patah. Jangan lupa caranya berdiri, meski di bawah kakimu berduri. Jangan, jangan merasa sendiri. Karena Tuhan takkan membiarkan itu terjadi. Selamat tidur, sayang."
Ya, Iyan belum tidur kala itu. Iyan hanya menikmati betapa sedikitnya waktu bersama Shafa. Iyan hanya berusaha mengingat betul suara Shafa dan menyimpannya dalam ingatan. Barangkali esok atau lusa Iyan rindu, setidaknya rekaman suara itu berputas bagai lagu. Meskipun Iyan tau, hal itu hanya akan membuat Iyan semakin merindu.
Rasanya begitu berat menjalani hidup tanpa Shafa. Seperti kehidupan tanpa detak jantung. Aih, sangat berlebihan. Namun, apakah kau yakin akan baik-baik saja setelah kehilangan? Jawabannya adalah tidak. Ya, tidak ada manusia yang siap akan kehilangan. Pada akhirnya, mereka dipaksa untuk melepas dan ikhlas.
Bunyi nyaring terdengar, tetapi tak membuyarkan lamunan Iyan. Hingga Jovi berlari dan menepuk kencang bahu Iyan.
"Yan!" pekik Jovi seraya mematikan kompor segera.
Iyan terlonjak, "Hah?! Apaan Jop?! Apaan?!"
Jovi mengarahkan kepala Iyan untuk menghadap panci kecil di hadapannya. "Lo masak mie, sampai airnya abis! Noh, sampe mie lo lurus!"
Iyan mengerutkan dahi. "Emang gue kemana aja?"
"Lo nanya gue? Mana gue tau! Badan lo sih di sini, tapi tau dah pikirannya kemana."
Iyan mengangkat bahu acuh ketika Jovi berlalu meninggalkannya. Untung saja, Iyan memasak mie goreng. Jadi tidak memerlukan kuah. Gak papa deh jelek juga, yang penting kenyang. Mie sudah siap, tinggal tambah nasi.
Setelah makan malamnya siap, Iyan menghampiri Jovi. Kost Iyan memang tidak sempit-sempit banget dan masih bisa menampung kompor beserta peralatan dapur lainnya. Tak ada kamar, sebab begitu masuk langsung di hadapkan oleh kasur.
"Lo gak makan Jop?"
Jovi yang tengah selonjoran sembari bermain ponsel hanya bergumam. "Diet."
"Yaudah. Kalau mau makan mie nya di plastik item, gue cantolin noh deket panci."
"Iye. Bawel lo kayak Chef Juna."
"Nyokap lo udah sembuh?"
"Udah mendingan."
"Kok lo malah main ke sini sih bege? Kagak jagain dia emang?"
"Ada abang gue. Gantian gitu, kemarin dua hari gue udah jagain."
"Akur ya lo sama Bang Niar."