Sebab kita tidak pernah berusaha untuk saling mengerti, dan kita hanya terbiasa untuk saling menyakiti.
***
Pernahkah kita berpikir, bandar narkoba dulu waktu kecil cita-citanya apa ya? Kemudian, para kupu-kupu malam waktu kecil bermimpi menjadi apa? Atau mungkin, para penjahat, begal, pencopet, dulu memiliki angan-angan menjadi apa?
Kita semua sepakat, bahwa mimpi adalah hal yang sulit diraih. Begitu juga mereka. Tidak ada manusia yang terlahir untuk memiliki niat menjadi jahat atau buruk. Setiap manusia pasti menginginkan kebaikan. Namun, bagaimana mungkin profesi seperti itu tercipta? Jawabannya adalah entah.
Sebagian orang tercipta untuk bangkit, dan sebagian lainnya memilih untuk tidak melanjutkan. Sebagian dibentuk oleh kesadaran, dan sebagian lainnya dibentuk oleh keputus asaan.
Jika Ipan ditanya, apa alasan Ipan menjadi salah satu dari mereka? Jawabannya adalah karena Ipan terikat oleh perjanjian konyol. Bahkan sampai detik ini, Ipan benar-benar menyesal telah menyetujuinya.
Menjelang sore Ipan berjalan melintasi kerumunan para mahasiswa yang tengah melakukan unjuk rasa di depan kantor pemerintah. Keadaannya begitu riuh dan sangat berisik. Itu alasan Ipan mau bertemu di sekitar sini, selain karena kliennya adalah seorang mahasiswa.
"Assalamu'alaikum! (Waalaikumsalam!)."
"Assalamu'alaikum! (Waalaikumsalam!)."
"Assalamu'alaikum! (Waalaikumsalam!)."
"Kami datang! Bawa pasukan!"
"Hidup mahasiswa!!"
"Hidup!!"
"ENTAH APA YANG MERASUKIMU!!"
"DARI PADA SAHKAN YANG NGAWUR, LEBIH BAIK SAHKAN AKU SAJA!!"
"KAMPANYE MERAKYAT, UDAH JADI BERKHIANAT!"
"INDONESIA LEKAS MEMBAIK!"
Ipan menepi di balik rumah kosong. Ia tersenyum geli di balik asap rokoknya ketika mendengar seruan demi seruan mahasiswa yang meminta keadilan. Belum lagi poster-poster yang menggelitik dari para mahasiswa. Agaknya, mahasiswa selalu punya cara untuk merubah negeri.
Karena Ipan rasa di tempat ini aman, Ipan segera menelpon kliennya.
"Halo?"
"Halo bang. Dimana lo?"
"Gue share location ya. Lo jan lama-lama tapi."
"Iye. Gue agak susah nih keluarnya. Gue di tengah demo soalnya."
"Yaudah buru."
Ipan mematikan panggilannya kemudian mengirim dimana lokasinya. Disela-sela penantiannya, tiba-tiba Ipan teringat Iyan. Apakah Iyan terlibat dalam demo besar-besaran mahasiswa itu? Apakah Iyan ada di tengah mereka? Apakah Iyan malah yang paling lantang menyuarakan?
Ipan cukup mengkhawatirkan Iyan apabila adiknya benar-benar ada di antara mahasiswa itu. Bagaimana kalau Iyan ditangkap polisi? Bagaimana kalau Iyan ditahan? Bagaimana kalau Iyan terlibat kasus hukum?
Hanya dalam beberapa detik, pikiran Ipan sudah dipenuhi banyak praduga yang memusingkan kepala. Dan semuanya, hanya pasal Iyan. Bohong apabila Ipan tidak pernah memikirkan Iyan, sebab pada kenyataannya setiap hari ia gunakan sebagian besar waktunya untuk memikirkan Iyan. Namun, bukannya Iyan juga tidak akan memperdulikan Ipan? Jadi, Ipan memilih memendamnya sendirian.
"Bang Ipan ya?"
Ipan menoleh ketika seseorang menyerukan namanya. "Lo Bimo?"