Yang patah adalah kita, dan pasrah adalah bagaimana caraku menyayangimu.
***
Manusia patah hati adalah manusia paling bebas. Ia bisa melakukan apa saja tanpa takut risikonya. Ia berani menakhlukkan apa saja tanpa takut dampaknya. Tak jarang juga yang berani melangkah, tanpa takut salah arah. Manusia patah hati adalah manusia paling tak bisa diatur. Jangankan diatur, ditegur saja kau bisa dicoret dari daftar orang-orang yang bisa mengerti keadaannya.
Manusia yang sedang patah hati boleh melakukan apa saja. Mulai dari bermusik, naik gunung, menulis, melukis, push rank, cari yang lain, atau bahkan memilih berdiam diri di kamar, kemudian tidak mau makan, hidup segan mati tak mau, tak punya pencerahan dalan hidup, atau mungkin memilih mati.
Iyan, sebagai manusia yang sedang patah hati, salah satunya ia memilih menyibukkan diri dengan proses penerbitan bukunya.
Hari ini, sama seperti hari-hari kemarin. Pulang kuliah, Iyan langsung mengunci diri di kamar. Ia akan keluar apabila harus bekerja atau memang ada keperluan penting. Kemudian menuntaskan proses penerbitan yang mungkin untuk dituntaskan, dan selebihnya untuk bergalau ria. Mendengarkan musik dengan suara kencang, kemudian konser patah hati dengan jiwa yang terguncang.
Di tengah siang menjelang sore, di saat Iyan baru saja selesai menuntaskan urusan novelnya, dan baru saja memulai konser patah hatinya, begitu tidak ada akhlakhnya Hilal yang tiba-tiba menggedor-gedor pintu kos Iyan.
"Assalamu'alaikum, Atok oh Atok. Oi, ngebangke mulu lo. Woi! Gada otak ya lo, mana salam gue kaga dijawab."
Di dalam, Iyan menghela napas sebal. Bisa-bisanya, di antara banyaknya anak kosan mengapa harus Iyan yang kebagian tetangga seperti Hilal?
"Waalaikumsalam, silakan keluar."
"Sibangke. Buruan oy!"
Iyan membuka pintunya dengan wajah tak bersahabat, "Apaansi? Berisik banget lo siang bolong begini."
"Awas gue mau numpang masak. Gas gue abis."
Hilal nyelonong masuk tanpa mengucapkan kata pembuka apapun. Iyan hanya bisa menghela napas pasrah.
"Emang ya lo, gada akhlak banget."
"Dari pada lo, gak ada pasangan. Hahaha."
"Diem lo."
"Lagian dari kemarin lo ngurung diri mulu perasaan. Ngapain sih dibawa sedih? Namanya pacaran mah, emang tujuannya buat putuskan?"
"Ya iya emang. Tapikan gue maunya putus karena nikah, bukan pisah."
"Pisah itu udah sepaket sama yang namanya bertemu. Mendingan juga lo pisahnya mah masih bisa ketemu. Lah gue, ditinggal pergi bro. Mana perginya ke rahmatullah. Ya gue kagak bisa ngejar. Tapi gue yakin Yan, orang-orang yang sayang sama kita gak akan benar-benar pergi dari hidup kita."
"Sebel banget kalau ada temen yang sukanya bilang: masih mending, lah gue. Tai lo."
"Eh tapi bener kan? Emang masih mending lo dari pada gue."
"Gue lebih milih ditinggal mati dari pada ditinggalin gitu aja."
"Kenapa? Bukannya lebih nyesek ya?"
"Seenggaknya, sampai akhir hidupnya, cintanya dia masih buat gue."