Ego hanya bisa membawa kita mengenali dingin dan kerasnya hati, tetapi tak pernah bisa menyelesaikan masalah dengan hangatnya rasa.
***
"Yan, lo berangkat jam berapa?"
"Bentar lagi."
"Gue mau ngomong nih. Eh, kok kaca jendela lo bolong sih Yan?"
"Oh ini, ada yang ngelempar pakai batu segede otak lo."
"Sialan."
"Buruan mau ngomong apaan."
"Waktu demo kemarin, gue liat Ipan."
Iyan menghentikan aktivitas sarapannya, dan seketika tatapannya langsung mengarah kepada Jovi yang ilernya masih terpampang jelas.
"Terus?"
"Gue liat dia aneh banget. Pakaiannya tertutup banget. Jaket parasit yang kalau dipake di Indonesia pas panas-panasnya berasa lagi simulasi di neraka itu loh. Terus pake topi. Yang gue liat, dia kayak mau tukaran sesuatu gitu sama seseorang. Kayaknya sih dia mahasiswa, soalnya pake almamater. Kayaknya juga, kalau gak salah nih, dia satu kampus sama kita."
"Emang tukaran apa?"
"Nah itu yang gue curiga, Yan! Masalahnya tuh kalau tukarannya di tempat ramai mah biasa aja. Lah itu, di tempat sepi coba. Kayak di belakang rumah kosong gitu."
Iyan memincingkan matanya. Membiarkan otaknya berpikir sembari menghabiskan nasi rames yang ia beli di depan gang.
"Sebenarnya, pas demo juga gue sempat ketemu Ipan. Dia menyelamatkan gue sama Rima dari kejaran polisi waktu itu. Eh emang kemarin ada apaansi kok polisi ngejar mahasiswa?"
"Ada yang nyimeng anjir, parah banget. Begonya sampe ubun-ubun tuh orang. Udah tau banyak polisi, yaudah kan kena grebek. Mana almamaternya sama warnanya kek kampus kita. Yaudah gue lari kan, kampretnya gue malah kena tampol orang nih sampe muka gue babak belur. Eh btw, Rima siapa dah? Cewek baru?"
"Dia cewek yang mirip Shafa, yang gue cerita waktu itu. Dah lah, gue mau berangkat aja."
"Yan?"
"Apa?"
"Seinget gue, dari badan-badannya mahasiswa itu tuh, kayak Bimo atau nggak Erdin. Lo tau kan gosip mereka?"
"Narkoba?"
Iyan dan Jovi saling tatap. "Lo punya pemikiran yang sama gak kayak gue, Yan?"
"Ah, gak mungkin! Badeg juga, Ipan tau mana yang haram mana yang halal. Jan ngaco ah."
"Siapa tau."