Sebagian orang lebih tertarik saling berjabat tangan untuk sebuah perkelahian, dibandingkan mengangkat kelingking untuk tanda perdamaian.
***
Iyan melajukan motornya ke tempat yang begitu ia rindukan. Tempat dimana semua suka dan duka hadir sebagai pemanis hidupnya. Iyan menyebutnya: rumah. Rumah orang tua Iyan masih satu kota dengan tempat dimana ia kuliah. Tetapi jarak antara rumah dan kampus terbilang jauh, alhasil Iyan memutuskan untuk kost dan membiarkan rumahnya tak berpenghuni. Dihidupkan oleh kenangan di antara sunyi.
Dulu, Iyan teringat bahwa ia pernah tinggal di rumah mewah,perumahan elit di kota ini. Namun, Iyan tidak tau mengapa orang tuanya memilih untuk pindah di rumah sederhana. Iyan masih cukup kecil waktu itu, dan tak cukup mengerti untuk tau. Bahkan sampai saat ini, ia pun tak kunjung tau.
Motor Iyan berhenti tepat di hadapan rumah sederhana itu. Warnanya masih sama. Rindangnya juga masih sama. Yang berbeda hanyalah rasanya. Perasaan Iyan begitu hadir kembali seolah terhantam godam bertubi-tubi. Seolah ada bagian dari dirinya yang dipaksa untuk patah.
Rumah ini dijual tanpa perantara
Hub : 08xxxxxxxx
Dada Iyan naik turun. Siapa manusia yang berani menjual rumah ini, kalau bukan Ipan? Lagi-lagi Ipan. Untuk kesekian kalinya, Ipan membuat Iyan tak habis pikir.
"Bang*at! Anj*ng lo Pan! Anj*ng!"
Tangan Iyan terkepal dengan mata yang menyala menyorotkan amarah. Wajah sawo matangnya memerah.
Amarah terlanjur menggegebu-gebu, Iyan melajukan motornya dengan ugal-ugalan. Tujuan Iyan hanya satu, yaitu mencari keberadaan Ipan kemudian menghabisinya sampai sehabis-habisnya! Cukup! Iyan tak perduli apakah Ipan abang kandungnya atau bukan, yang Iyan tau Ipan adalah benalu! Ipan adalah sumber sial bagi Iyan!
Di dalam benak Iyan, ia selalu bertanya kepada Tuhan:
Mengapa? Mengapa harus Iyan yang memiliki hidup serumit ini?
Mengapa harus Iyan yang memiliki abang seperti Ipan?
Mengapa harus Iyan?
Mengapa, Tuhan?
Iyan juga ingin bahagia seperti manusia lainnya. Memiliki seorang abang, memiliki saudara yang takkan merugikan. Iyan cukup buntu untuk menerima hal-hal yang rumit ini. Iyan tak cukup mengerti. Iyan gagal paham.
Menjelang zuhur, Iyan masih mencari keberadaan Ipan. Iyan datangi tempat-tempat yang pernah ia datangi untuk menyusul Ipan. Mulai dari halte bis tempat Ipan digebukin depkolektor, bangunan tua menyeramkan tempat ia dan Ipan dihabisi, dan banyak tempat-tempat aneh yang sempat dengan bodohnya ia datangi hanya demi Ipan.
Hingga azan zuhur berkumandang, sedangkan Iyan masih berada di jalan dengan kecepatan dan gaya ugal-ugalannya. Lampu lalu lintas menyala berwarna hijau, dan Iyan melaju dengan kecepatan di atas normal. Sialnya,
Brak!
Tiiin!
Bugh!
Iyan mengatur napasnya yang tak beraturan. Ia terjatuh yang membuat mengundang keramaian. Ia segera bangkit dari jatuhnya, kemudian menghampiri seorang pelajar SMA yang hampir saja ia tabrak kalau ia tak memilih banting stir.