Tuhan Maha Adil untuk menjadikan malam tak dapat berbicara, sebab jika ia mampu, niscaya rahasiamu banyak yang tahu.
***
Malam itu, Ipan mengingkari janjinya pada Wawan. Lelaki itu tidak menunggu Wawan di rumah, melainkan pergi ke markas bosnya karena tiba-tiba bandot tua itu menghubungi Ipan. Sesampainya di sana, ia malah dihajar sampai babak belur.
"Kemarin lo dikejar polisi kan?" tanya bosnya.
Ipan mengusap darah yang mengalir dari hidungnya, "Bukan gue yang dikejar, tapi mahasiswa."
"Bego banget sih, kenapa nukerin gitu aja gak becus! Lo mau berita bokap lo kesebar lagi?"
"Kalau sampai berita itu kesebar lagi, gue gak segan-segan bunuh lo Bambang!"
Bambang tertawa, "Berani juga lo. Nih barang lagi."
Ipan menghela napas berat, "Kapan gue bisa bebas?"
"Kapanpun gue mau bebasin lo."
"Gue maunya sekarang."
"Oh tidak bisa. Kecuali lo mau berita tentang bokap lo yang tikus berdasi itu kesebar."
"Anj*ng! Biadab lo bang*at!"
Ipan bangkit seraya meraih barang yang Bambang berikan kemudian berlalu pergi. Ipan menyimpannya ke dalam saku seraya mengusap darah yang belum juga usai keluar dari hidungnya.
Hidup Ipan menjadi malapetaka setiap harinya. Tak ada hari selain untuk menunda mati. Kalau saja Ipan tak bisa menundanya, ia pastikan sekarang sudah jadi bangkai gara-gara si Bambang setan!
Ipan duduk di sebuah warung kecil yang tak jauh dari markas Bambang, di sanalah Ipan.menaruh motor.
"Babak belur lagi Mas Ipan?" tanya Ibu Denok, pemilik warung kecil ini.
"Iya bu, biasa urusan cowok hehe. Bu, Ipan mau susu angetnya dong satu. Vanilla ya."
"Sip deh. Tunggu ya."
Di samping Bu Denok membuatkan susu untuk dirinya, Ipan tengah sibuk mengatasi luka-lukanya. Tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya, seraya memangku kotak p3k.
"Bambang emang gitu, suka seenaknya sendiri. Sabarin aja orang kek dia," ucapnya seraya meraih kapas dan memberinya alkohol. Kemudian ia meraih wajah Ipan. Diusapnya luka Ipan dengan hati-hati, seolah tak ingin lelaki itu merasa kesakitan.
Ipan menatap gadis itu. Poninya sudah sedikit panjang dan beterbangan seperti layang-layang di udara.
"Sakit gak?" tanyanya.
"Gue lupa rasanya sakit gimana," jawab Ipan dengan tatapan yang tak berubah. Gadis itu membalas tatapan Ipan, seolah mata lelaki itu jauh lebih menyedihkan dibandingkan lukanya.
Mata gadis itu beralih ke arah sudut bibir Ipan. Diusapnya dengan kapas yang baru, perlahan-lahan.
"Nih Mas Ipan susunya. Eh, Neng Rima, mau susu juga Neng?"
Rima tersenyum, "Enggak usah bu."
"Yaudah Ibu masuk dulu ya."
"Makasih bu," ucap Ipan.
"Pantas lupa rasanya sakit, ternyata rajin minum susu," gurau Rima yang membuat Ipan terkekeh dan membuat sudut bibirnya tertarik.