Manusia berubah untuk dua sebab: untuk pergi atau untuk semakin perduli.
***
Kafe tutup dua puluh menit yang lalu. Namun para karyawan belum diizinkan pulang sebab perlu beres-beres terlebih dahulu. Hari ini Iyan mendapat bagian kasir, alhasil sebelum pulang ia harus menyetorkan pendapatan hari ini.
Nata menghitung lembar demi lembar uang yang Iyan setorkan. Hingga sampai di lembar terakhir.
"Yap, uangnya laba dan gak kurang. Btw, gue suka kalau lo ada di bagian kasir. Duitnya gak pernah kurang, apalagi hilang."
Iyan tersenyum, "Alhamdulillah deh. Mbak, gue udah boleh pulang sekarang?"
"Nunggu yang lain ya. Biar bareng gitu. Gak papa kan?"
"Oh, gak papa kok. Per---"
"Yan, gue minta besok lo jangan kebanyakan ngelamun ya. Apalagi sambil cemberut. Senyum lah paling enggak."
"Baik Mbak. Gue permisi dulu."
"Okay."
Iyan ke luar kemudian membantu karyawan yang lain membereskan kafe. Setelah usai dan diperbolehkan pulang, Iyan juga pulang. Namun baru saja ia menaiki motornya, tiba-tiba ponselnya berdering menandakan telepon masuk.
"Apaansi Pan?"
"Lo pikir gue Ipan? Ipan lagi sekarat noh dipinggir jalan. Mau mati kali, hahahaha. Paling enak tuh gebukin abang lo emang, haha."
"Sialan. Dimana Ipan sekarang?"
"Aku kirim alamatnya lewat sms ya sayang, muah hahaha."
Panggilan diputuskan secara sepihak. Iyan begitu geram harus mendapat telepon untuk kesekian kalinya karena Ipan, dan itu terjadi di tengah malam. Kalau bukan abangnya, mana mau Iyan serepot ini.
Meskipun Iyan geram dan marah, tetapi ia tetap berangkat menyusul Ipan ke alamat yang ditunjukkan. Tak butuh waktu lama Iyan sampai di sana, sebab jalanan lenggang dan membuatnya leluasa menggunakan jalan.
Di sana ia mendapati Ipan tergeletak di pinggir jalan dengan posisi motor dan tubuh Ipan jaraknya cukup jauh. Dilihat dari motornya yang jatuh dan beberapa bagiannya rusak, Iyan yakini Ipan terjatuh dari motor.
Iyan turun dari motornya, kemudian menghampiri Ipan. Iyan menggoyangkan bahu Ipan dengan sedikit kasar.
"Woi, bangun! Mati lo? Bangun woi!"
Ipan tak bergeming. Takut Ipan mati beneran, Iyan menaruh telunjuknya ke depan lubang hidung Ipan untuk merasakan napasnya. Nyatanya, Ipan masih bernapas yang artinya ia masih hidup.
"Anjir mana pingsan lagi. Gue bawanya gimana nih?"
Iyan masih berjongkok tepat di samping Ipan. Memikirkan cara yang efektif untuk membawa Ipan.
"Ngapain lo?" lirih Ipan yang membuat Iyan menoleh ke arahnya.
Iyan terdiam, membiarkan Ipan melakukan apa yang mungkin bisa ia lakukan.
"Lo gak seharusnya ke sini."
Iyan masih diam.
"Lo gak seharusnya peduliin gue."
Lagi, Iyan masih diam.
"Lo---"
"Asal lo tau ya, malam-malam begini Pan, ada orang nelpon gue. Ngasih tau lo sekarat di pinggir jalan. Sebagai manusia yang berperikemanusiaan, ya gue samperin. Lo mau mati kayak gini aja, lo tetap ngeselin tau gak."
Ipan terkekeh dengan suaranya yang begitu lirih, "Lo sayang juga sama gue."