Bersedihlah, sayang. Di atas pangkuanku. Takkan kubiarkan kau hilang, meski kau membiarkannya terjadi padaku.
***
Tetesan gerimis memantul di atas seng yang menjadi tutup rumah Ipan. Bunyinya tak begitu nyaring, tetapi cukup menemani jiwa yang bimbang. Baik suka maupun duka, tak ada yang berani menembus gerimis. Seolah dibiarkannya mengalir begitu saja. Dibiarkannya turun tanpa sekat. Dibiarkannya hadir sebagai obat.
Malam itu sudah cukup larut, tetapi Ipan tak juga pulang. Berulang kali Rima mencoba menghubungi lelaki itu, hasilnya nihil. Ponselnya tak aktif. Rima punya berita yang hendaknya ingin ia sampaikan kepada Ipan. Bukan berita baik ataupun buruk untuk lelaki itu, tetapi berita yang agaknya ingin Rima sampaikan sebagai bentuk keluh kesah. Rima ingin pulang kepada Ipan.
Rima di ambang keputusasaannya dalam menunggu kepulangan Ipan. Sampai ia berpikir, kalau Ipan tak kembali dalam lima menit, Rima akan pulang saja.
Satu menit,
Dua menit,
Tiga menit,
Di menit keempat, Rima pasrah. Ia memilih beranjak dari duduknya kemudian,
"Loh, Sep?" Rima terheran ketika Asep dan seorang temannya datang membopong tubuh Ipan yang tak sadarkan diri.
Rima segera menghampirinya, mencoba membantu Asep dan temannya. Ketiga manusia itu membawa Ipan ke biliknya, kemudian membaringkannya.
"Pamit dulu teh," ucap Asep.
"Eh Sep, bentar gue mau tanya," Rima menarik tangan Asep untuk keluar bilik, alih-alih supaya tidak mengganggu tidur Ipan.
"Kenapa teh?" tanya Asep dengan logat sundanya.
"Ipan kenapa bisa tepar begitu?"
"Abis dicekokin alkohol teh."
"Sama siapa?"
"Bambang."
Mulut Asep langsung ditutup oleh temannya, "Goblok!"
"Maap atuh, lupa."
"Kalau Bambang tau, gue gak tanggung jawab ya."
Rima menatap keduanya, "Kalian tenang aja, Bambang gue yang urus. Dia gak akan marah sama kalian. Btw, makasih ya. Kalian boleh pergi."
"Punten teh, pergi dulu," Rima hanya mengangguk sebagai jawaban atas ucapan Asep.
Asep dan temannya pergi, meninggalkan Rima yang masih tak habis pikir dengan Bambamg. Di depan bilik Ipan, Rima masih berdiri sembari menekuk tangannya. Pikirannya benar-benar tumpul atas apa yang baru saja Bambang lakukan. Rima kecewa, bisa-bisanya Bambang memperlakukan Ipan dengan begitu buruknya! Kan Rima jadi khawatir.
"Yan? Iyan?" Rima menoleh ke arah Ipan, dan ia dapati lelaki itu meracau menyebutkan nama Iyan.
Rima segera menghampirinya. "Ma, Ipan gagal jagain Iyan. Ipan gak becus," racau Ipan lagi.
Rima menelan ludahnya dengan susah payah. Melihat Ipan begitu menyedihkan, membuat sudut hatinya merasa terluka dan ikut merasakan apa yang Ipan rasakan.
"Enggak! Ma, Ipan janji bakal jagain Iyan. Mama! Jangan pukul Ipan!"