Keinginan mencintai dengan sederhana adalah sebuah upaya dalam mencintai yang paling tidak sederhana.
****
Ritual yang dimulai, pun akan selesai. Malam itu, Kayla bercerita tentang bagaimana pacarnya melukai dirinya dan seberapa sering itu terjadi. Malam itu menjadi malam paling indah bagi Kayla, sebab Tuhan seolah mengirim Iyan untuk meredakan lukanya. Di sisi lain, Iyan juga bersyukur, sebab Tuhan seolah menuntunnya kepada pereda lukanya.
Namun, tetap saja. Sebaik-baiknya luka, adalah yang diobati oleh obat yang tepat. Bagi Iyan, Kayla memang meredakan, tetapi tidak menyembuhkan. Tetap saja, Shafa yang bisa menyembuhkannya.
Kayla sudah terlelap, sekitar satu jam lalu. Sedangkan Iyan masih sibuk dengan pikirannya yang berkecamuk. Dirinya masih menimang, apakah ia harus menghubungi Shafa lagi setelah ia telah menyakiti gadis itu, atau bahkan mulai sekarang harusnya tidak ada koneksi di antara keduanya.
Kayla bilang, "Lo harus jelasin ke Shafa. Jangan sampai Shafa mengira kalau dia berjuang sendirian."
Pada akhirnya, Iyan mengambil tindakan untuk menjelaskannya kepada Shafa. Barangkali malam ini adalah malam yang akan berakhir indah.
Iyan memotret Kayla yang tengah tertidur, kemudian ia kirim kepada Shafa.
Iyan: (Sent a picture).
Iyan: Dia Kayla, orang yang aku peluk sore tadi. Dia korban kekerasan sama pacarnya. Sebagai teman yang baik, aku gak suka ada temanku dilukai apalagi sama lelaki. Dan sebagai lelaki, aku harus bisa jagain wanita disekitar aku. Seenggaknya, itu caraku menghargai wanita.
Iyan: Aku harap kamu mau baca dan mau mengerti. Aku tetap maunya kamu, gak mau yang lain.
Lama, tak ada balasan dari Shafa juga. Padahal, centang dua. Tapi masih abu-abu. Kalau Shafa masih centang dua, artinya Shafa masih terjaga. Sebab gadis itu takkan lupa mematikan data seluler sebelum tidur.
Karena Iyan gak sabaran, ditelponlah Shafa. Panggilannya di angkat, tetapi tak ada suara sapaan. Yang ada hanya suara napas Shafa yang tidak beraturan.
"Fa? Kamu gak papa?"
Hening.
Tak ada jawaban.
"Shafa? Hey?"
"Iyan...."
"Kamu kenapa?"
"Aku takut. Gak mau di sini."
"Shafa, kenapa? Ada yang lukai kamu?"
"Tadi---tadi, Bang Anjas mau coba melecehkan aku, Yan. Aku takut," ucap Shafa dengan suara sedikit gemetar.
"Anjas? Cowok yang waktu itu di kosan kamu?"
"Iya."
"Baj*ngan! Orang mana dia?"
"Udahlah Yan, gak udah diperpanjang. Lagian aku juga udah buat surat resign kok, aku udah gak betah kerja di sana."
"Oh kamu suka sama Anjas makanya gak mau aku nemuin dia?"
"Gak gitu Iyan. Ck."
"Kamu---" ucapan Iyan menggantung, seolah pikirannya tersadar bahwa apa yang ia lakukan hanya akan membawa pertengkaran. "Yaudah iya. Sekarang kamu di mana?"
"Di kosan."
"Kamu jangan lupa kunci pintu. Jaga diri baik-baik di sana. Apa perlu aku ke sana lagi sekarang?"
"Gak usah."
"Yaudah."
Kemudian, keduanya sama-sama terdiam. Mendengar deru napas yang saling bersahutan, saling menunggu siapa yang agaknya akan bicara dahulu.
"Fa?" Lantas, Iyan memulainya.
"Hm?"
"Kamu udah baca chat aku?"
"Belum."
"Baca dulu gih."