Ada yang hilang untuk pulang, meskipun lebih banyak yang hilang dan hanya mampu dikenang.
****
Ipan menghilang, tak ada kabar setelah satu bulan yang lalu ia pamit kepada Rima dan Iyan. Katanya, ia akan kembali. Nyatanya sampai sekarang tak ada kabar untuk itu. Satu bulan itu, Rima lakukan dengan menempati tempat tinggal Ipan. Barangkali lelaki itu sampai rumah malam hari. Sedangkan, Iyan disibukkan oleh urusan bukunya yang sudah tahap pengiriman.
Tak dapat Iyan pungkiri, bahwa ketidakhadiran Ipan di dalam hari-harinya membuat ia sedikit merasa kosong. Seolah apa yang meramaikan hari-harinya hilang. Tak ada pertengkaran, tak ada keributan, tak ada perdebatan, tak ada perkelahian, tak ada makian, semuanya luput begitu saja.
Hari-hari Rima dan Iyan begitu membosankan tanpa Ipan. Hanya sekadar bangun, beraktivitas tanpa semangat, makan, tidur lagi. Seputar itu saja.
Pagi itu, Iyan masih tidur setelah ia memutuskan untuk tidur lagi sehabis subuhan. Hingga alarm ponselnya menyuarakan jargon susu murni nasional dengan lantang. Lelaki itu menerjapkan mata, sebab ia ada kuliah pagi hari ini. Namun, ketika ia hendak berbalik ke arah lain, tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
Kok ada orang? Bukannya Jovi gak nginep di sini?
Iyan segera beranjak duduk, lalu mendapati seseorang yang dari belakang terlihat familiar. Iyan mendorongnya hingga seseorang itu jatuh ke lantai.
"Anjrit!" pekiknya.
Iyan mengerutkan dahi sebab lelaki itu belum juga menghadap ke arahnya.
"Siapa lo?"
Lelaki itu menoleh, "Apaansi? Ganggu tidur orang aja."
"Lah, Ipan?"
"Kenapa? Kangen lo sama gue? Eh, itu alarmnya matiin dulu kali. Budeg kuping gue."
Dengan masih terheran, Iyan meraih ponsel dan mematikan alarmnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Ipan.
"Kok lo bisa masuk? Perasaan pintu kosan gue kunci."
Ipan memutar bola mata dengan tangan yang berusaha meraih sesuatu di kantung jaketnya.
"Nih," ia menunjukkan sebuah jepitan rambut yang memang bisa digunakan untuk membuka kunci pintu oleh orang-orang ahli.
"Lo pengedar apa maling si?"
Ipan hanya terkekeh, kemudian hendak berbaring untuk melanjutkan tidur lagi. Namun, tangan Iyan sudah terlebih dulu mendorong Ipan hingga ia jatuh ke lantai lagi.
"Gue mau tidur woy!"
"Gak! Pergi lo dari kosan gue!"
"Apa-apaan lo main ngusir aja. Gak, awas gue mau tidur!"
"Pergi gak lo?!"
"Kenapa sih sensi banget sama kakanda?"
"Najis."
"Awas ah."
Iyan tak menjawab apa-apa. Lelaki itu diam dengan mata yang masih menyorotkan amarah. Ia beranjak keluar kosan, kemudian meraih sesuatu yang menempel di jendela kosannya. Iyan masuk lagi, dan menunjukkannya kepada Ipan, tepat di hadapan mata lelaki itu.
"Lo baca ini keras-keras!" Ipan melirik kertas itu dan Iyan secara bergantian.
"Baca!" gertak Iyan lagi.