Apa-apa yang dibiarkan dekat, membuat segala upaya dalam menjauhi hanya menjadi sebuah kesia-siaan tak berarti.
***
Bergantinya hari, pasti menawarkan kesempatan baru. Kesempatan yang harusnya digunakan dengan sebaik-baiknya, sebab manusia tiada tau kapan dirinya akan disambut oleh maut. Setiap detik yang berlalu, adalah saksi atas kesia-siaan atau bahkan sebaik-baiknya kesempatan yang kita lakukan. Waktu membuat siapa saja merasa dirinya memiliki kesempatan, padahal nyatanya tidak.
Hari itu, hujan mengguyur beberapa bagian bumi. Rintik dan aromanya mengingatkan rindu pada kenangan. Hujannya begitu deras, sampai-sampai Iyan yang baru saja pulang dari kampus harus meneduh di Indoapril terdekat bersama beberapa orang lainnya. Hujannya tampak awet, sedangkan dua jam mendatang ia harus berangkat bekerja. Semoga, hujannya tidak lama.
Karena Iyan merasa kehausan, ia memutuskan untuk membeli minuman. Lelaki itu beringsut dengan sedikit membungkukan badan ketika melintas di hadapan orang yang lebih tua. Namun, baru saja ia membuka pintu, ia tak mendapati sapaan ramah dari karyawan setempat. Tak ada sapaan, 'Selamat datang' atau mungkin 'Selamat siang', melainkan:
"Woi anjir. Ngapain lo ke sini?" Iyan terkejut, menoleh seketika ke arah si empunya suara.
"Sibang*at. Ketemu lo lagi, sialan."
"Ngikutin gue ya lo? Jangan-jangan lo kangen sama gue?"
"Gembel. Males banget gue kangen sama lo, jijik."
"Ngaku aja deh lo."
"Sampah. Gue jadi gak haus!"
Iyan kembali ke luar dan memutuskan untuk tidak jadi beli minuman karena ternyata Ipan menjadi salah satu karyawan di sana. Iyan kembali ke tempat dimana ia meneduh. Tiba-tiba saja, perasaanya tidak enak entah akan ada peristiwa apa.
Dan, benar saja.
"Nih minum," seseorang menyodorkan segelas kopi panas.
Diliriknya seseorang itu, lagi-lagi membuat Iyan berdecak sebal. "Ngapain si Pan?"
"Mau kagak? Apa mau gue siramin ke muka lo?"
"Ogah. Mending gue kehausan."
"Yaudah biarin. Gue minum sendiri aja."
"Yaudah."
Iyan memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain, berharap agar Ipan akan pergi dan tak lagi menganggu dirinya lagi. Namun sialnya, Iyan lupa, bukan Ipan namanya kalau tidak bisa membuat Iyan geram dan naik darah! Benar saja, Ipan malah berdiri di samping Iyan sembari menyeruput pelan-pelan kopi di genggamannya.
"Emang ya, hujan begini enaknya ngopi," racau Ipan yang tak dihiraukan adiknya.
"Di sepertiga malam terakhir,
Daun jatuh....
Seperti rindu-rindu
yang berguguran,