Apa gunanya hidup jika diri sendiri tidak merdeka? Apa gunanya hidup jika diri sendiri masih dijajah?
***
Semua orang berhak berubah bukan? Entah untuk menjadi lebih baik, atau bahkan sebaliknya. Waktu menggeser hidup manusia di ke fase yang semakin ke sini semakin rumit, karena itu perubahan tercipta. Langkah kaki membawa manusia ke arah yang semakin kompleks, karena itu adaptasi dibutuhkan.
Malam itu sepulang kerja, entah angin dari mana, Iyan melajukan motornya ke rumah Ipan. Seperti ada dorongan di dalam hatinya untuk pergi ke sana. Di bawah sorotan cahaya bulan, Iyan menjalankan motornya dalam diam. Diam-diam ia memikirkan apa yang mungkin akan ia bicarakan dengan Ipan. Di kepalanya terdapat beberapa pertanyaan, yang sebenarnya ia ragu untuk tanyakan.
Seperti: apakah Ipan kakak kandungnya? Kemudian, apakah Papa mereka adalah koruptor? Atau bahkan, mengapa Ipan begitu takut kepada Mama bahkan ketika Mamanya sudah pergi sekalipun.
Ipan selalu punya rahasia.
Em, atau mungkin, Iyan yang terlalu tidak mau tau? Ah, entahlah. Manusia memang suka menebar tawa supaya manusia lain hanya tau tentang suara tawanya yang begitu buruk, bukan hatinya.
Motor Iyan berhenti di hadapan rumah Ipan tepat ketika lelaki itu ke luar dan baru saja menutup pintu dengan seputung rokok di bibirnya.
Bibir Ipan melengkungkan senyum, dipindahkan rokoknya dari bibir ke tangan. "Ada apa gerangan adik kakanda main ke istana?"
Iyan menutar bola matanya sembari melepas helm, "Istana pala lo."
"Mau ngapain lo?"
"Gabut."
"Ikut gue yuk."
"Ke tempat haram gak?"
"Mana sempat gue main ke tempat haram?"
"Lo pengedar kalau lo lupa, gobl*k."
"Jan banyak bac*t, mau ikut kagak?"
"Yaudahlah."
Iyan dan Ipan berjalan berdampingan. Iyan dengan rambutnya yang dicepol dan sedikit berantakan, sedangkan Ipan dengan rambutnya yang rapi sebab sekarang ia sudah resmi jadi karyawan Indoapril. Tinggi keduanya tak beda jauh. Selisih tujuh senti mungkin.
Ipan mengajak Iyan ke sebuah rumah sederhana dan begitu sederhana, mungkin lebih pantas disebut gubuk. Rumah itu tak luas, cenderung sempit. Di depan rumah itu ada sungai cukup besar dan penuh sampah. Namun, di sini ramai. Di sebelah rumah itu ada pohon cukup besar dan terdapat tempat untuk nongkrong. Entah siapa pemilik rumah ini, Iyan tak tau.
"Woi! Gila lo gak ngajakin gue," ucap Ipan sebagai sapaan kepada anak-anak yang tengah nongkrong dengan ukulele digenggamannya.
"Weh, Bang. Lo sibuk mulu, gue mau ngajakin takut ganggu," ucap salah satu bocah itu.
"Loh, Bang Iyan ya?" tanya seseorang yang membuat Iyan menatapnya.
"Eh, Wan. Apa kabar lo? Lama ye, kagak ketemu."
Iyan dan Wawan bersalaman ala laki-laki pada umumnya. "Baek Bang. Lo kenal sama Bang Ipan?"
Ipan merangkul bahu Iyan, "Sohib gue dia nih! Awas lo jan macem-macem."
"Iye Bang, elah. Oh iya, lo dicariin Mascuk noh dari kemarin."