Barangkali sebagian kata-kata hanya sekadar basa-basi untuk menutupi apa yang tak sempat terucap. Sebab manusia juga menguasai seni dalam berdusta.
***
Keluarga pasti merasakan apa yang salah satunya rasakan. Kecewa satu, kecewa semua. Sakit satu, sakit semua. Terluka satu, terluka semua. Marah satu, marah semua. Suasana kampung kumuh itu sedang tak bersahabat, sebab semuanya tengah merasa berduka, kecewa, dan sedikit marah tentu saja. Tak ada senyum yang merekah di wajah bapak dan ibu, juga tawa riang anak-anak yang biasanya bermain ban sepeda.
Semuanya mendadak sunyi, sebab suara teriakan mereka diredam dalam hati. Aura kebahagiaan seolah sirna, bahkan hanya bising kendaraan saja satu-satunya huru hara.
Ipan duduk di depan rumah dengan sebatang rokok terakhirnya. Tak ada kopi, sebab si penjual kopi sama-sama sedang tak selera. Dihisap rokoknya dalam-dalam, berupaya meraih dukanya banyak-banyak untuk dihempaskan banyak-banyak juga. Berulang-ulang, tetapi rasanya sama. Tak berubah.
Ipan tau, bahwa Iyan duduk di sampingnya. Entah apa yang membuatnya terbangun, kali ini Ipan tak mau ambil pusing. Kepala Ipan sudah bising.
"Kok tumben si, sepi banget," ucap Iyan tiba-tiba.
"Masalah buat lo?"
"Kok lo sewot? Kan gue cuma nanya."
"Kampung mau digusur," kata Ipan disela asap rokoknya yang dihempas angin perlahan.
Iyan mengerutkan dahi, "Serius?"
"Duarius. Semua orang sedih, termasuk gue. Katanya sih, cuma direlokasi dan kita mau dipindah ke rusun yang lebih layak. Tapi warga gak mau. Bahkan kata beberapa orang, dulu mereka pernah jadi korban gusuran dan berakhir gak dikasih tempat tinggal."
"Lo pernah mikir gini gak si Pan, mereka orang-orang yang ada di sini itu orang-orang yang gagal. Mereka gagal mencerahkan masa depannya sendiri."
"Dan lo pernah gak mikir gini, bahwa orang-orang yang gagal adalah orang-orang yang diberikan banyak pelajaran untuk jadi dewasa. Lo pernah mikir juga gak, bahwa kadang realistis itu perlu. Orang miskin juga punya mimpi, meskipun sesederhana bisa makan untuk hari ini. Lo pernah mikir juga gak, apa lo bakal sekuat mereka ketika lo gak pernah jadi apa-apa dan gagal dalam meraih cita-cita."
Iyan diam, mencoba mencerna ucapan Ipan sembari membuka lebar pikirannya. "Hidup tuh pilihan. Ada kok orang-orang yang memilih kere, Mascuk misalnya. Dia seniman hebat, legendaris lah istilahnya. Tapi dia memilih jadi pemulung. Kadang hidup tuh gak butuh kaya raya, tetapi cukup kaya rasa. Semalem gue kan bilang, kalau kaya dan miskin itu soal mental. Masih gak paham juga lo?" sambung Ipan.
"Bahagia gak melulu soal harta, bener juga ya."
"Iyalah. Kalau ada orang yang bilang bahwa bahagia harus punya harta, artinya itu orang belum pernah ngerasain gak punya harta tapi punya keluarga."
"Tapi pada akhirnya, hidup kan cuma kelihatannya aja. Orang yang kaya, iri sama yang miskin soal keluarga. Yang miskin, iri sama yang kaya soal harta. Yang cantik kulit putih, iri sama yang kulit coklat. Yang kulit coklat, pengin putih. Semua hanya dilihat seadanya aja. Padahal setiap orang itu sama, sama-sama punya masalah hidup serta kekurangan dan kelebihan."
"Pinter lo lama-lama, gegara main sama gue ya?"
"Gue pinter dari lahir kali."
"Emang lo dilahirin? Kan lo hadiah lotre hahaha."