Jadi manusia jangan cuma bisa bertahan hidup, tetapi juga harus bisa saling menghidupi.
***
Ya,
Hilal memilih melompat,
dari jembatan penyebrangan jalan.
Semua orang memekik hebat, semua orang di sana mendadak berhenti bergerak. Atmosfir saat itu mendadak berubah menegangkan. Bahkan banyak orang yang menjadi reporter tiba-tiba. Di tengah keadaan yang mungkin begitu menarik perhatian, kebanyakan orang lebih memilih menjadi saksi bisu dibandingkan harus terlibat untuk sekadar menolongnya.
Namun, tidak berlaku bagi Iyan untuk saat itu. Sebab Iyan memilih menahan tangan Hilal yang masih sempat ia raih.
"Tahan bentar, Lal!"
"Lepasin gue!"
"Tolong!!! Woi! Tolongin ngapa!! Jangan main direkam aja lo semua!! Tolongin anj*ng!!!"
Hening.
Semua orang hanya berlalu dan menyaksikan seperti kejadian itu adalah pertunjukan yang pantas didokumentasikan dan dipertontonkan. Miris. Mana yang katanya ramah? Tak ada satupun.
"Anj*ng emang lo semua!!"
"Lepasin gue Yan!!"
"Diem lo bang*at!! Gue bakal cari pertolongan. SIAPAPUN TOLONGIN NYAWA ORANG!!! LO SEMUA MANUSIA BUKAN SIH?!"
Lagi-lagi, keramaian itu hanya bisu. Hanya ada satu orang yang berlari kencang, bahkan dari bawah ia rela turun dari kendaraannya. Seorang driver ojek online itu berlari dan dengan segera ia membantu Iyan tanpa kata-kata. Iyan dan driver ojek online itu berusaha menarik Hilal yang terus memberontak. Namun setelah hampir lima belas menit, Hilal berakhir selamat.
Iyan dan driver ojek online itu terengah-engah, sedangkan Hilal duduk sembari menelungkupkan wajah di antara lututnya.
"Makasih Mas udah nolongin saya," ucap Iyan di sela upayanya mengatur napas.
"Santai Mas, bukannya tolong menolong itu baik? Saya sih, orang kecil. Kalau gak bermanfaat buat orang lain, saya akan terus jadi kecil."
"Salut saya sama Masnya."
"Yaudah Mas, saya balik ngojek lagi ya."
"Iya Mas, makasih sekali lagi."
"Sama-sama. Duluan, permisi."
Iyan hanya tersenyum sembari mengangguk dan mengangkat tangannya seolah mempersilakan ia pergi. Kerumunan di sekitarnya sedikit demi sedikit bubar. Bahkan tanpa sembunyi-sembunyi ada yang membicarakan dan menilai tragedi tadi. Ada yang bilang kalau cuma pura-puralah, ada yang bilang cuma biar tenarlah, ada yang bilang cuma buat sensasilah. Ya, kebanyakan orang menilai dengan kebodohan, bukan dengan kenyataan.
"Lo gak sepantasnya nolongin gue!! Gara-gara lo gue gagal bunuh diri!" bentak Hilal tiba-tiba, dengan tatapan penuh amarah mengarah pada Iyan.
Iyan terdiam. Bingung harus apa, takut salah lagi.
"Kalau lo biarin gue mati tadi, semua beban yang gue rasain bakal selesai Yan! Semua masalah yang gue hadapi bakal selesai!"
"Iya kalau lo mati, kalau enggak? Terus, iya kalau pas masih hidup tapi normal yang mentok-mentok patah tulang, kalau lo cacat gimana? Mau nyusahin orang lain lo?"
"Diam!! Cukup!! Lo gak ngerti jadi gue!"
"Semua orang punya fase terendahnya. Fase dimana keadaan menuntut kita seperti biasa tetapi berdampingan dengan masalah. Semua orang punya beban dan bukan lo satu-satunya yang sedih. Boleh jadi, ojol tadi lagi sedih karena belum dapat orderan. Boleh jadi juga, hari ini, ada yang lagi sedih juga atau mungkin jauh lebih berat masalahnya dari pada lo. Kalau lo pikir mati menyelesaikan masalah, emangnya lo mau nyawa lo gak bisa langsung pergi ke langit terus dijadiin buat alat perdukunan? Makanya kadang nonton kontennya Sarah Wijayanto biar lo tau."
Hilal semakin menatap tajam Iyan, "Bac*t lo!"