Biarkan, mengalir begitu saja. Memberi ruang pada waktu untuk membuka kenyataan dan menjawab pertanyaan. Biarkan.
***
Jalan-jalan?
Dengan Ipan?
Bagai mimpi rasanya. Sebelum hari ini, Iyan tak pernah berpikir bahwa hal ini akan benar-benar terjadi. Dulu, Iyan sempat iri dengan Jovi karena kedekatannya dengan Bang Niar. Mereka gak malu pake baju koko kembaran yang dibuatkan oleh Ibunya, mengingat Ibu Jovi adalah seorang pengusaha konveksi. Jovi dan Niar juga gak malu saling melempar perhatian meskipun sering berkelahi.
Setiap Iyan main ke rumah Jovi, Iyan selalu merasa iri. Sebab hubungannya dengan Ipan tak pernah sebaik itu. Hingga semuanya berubah secara begitu saja. Entah siapa yang pernah mendoakan di antara mereka, Iyan tak tau, tetapi Iyan yakin bahwa Tuhan selalu sengaja menakdirkan sesuatu. Sebenarnya, agak geli sih bagi Iyan. Mungkin karena pertama kalinya Iyan sedekat ini dengan Ipan, wajar saja.
Entah siapa yang memulai, Iyan tak mau tau. Yang Iyan tau, sekarang keduanya bisa saling beriringan. Sejajar, berjalan bersama, melangkah bersama. Setelah sekian lama keduanya sama-sama asing.
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul enam, Shafa tiba di kosan Iyan. Saat itu, Iyan tengah sibuk menjemur baju dan celananya di depan kosan.
"Hai," sapa Shafa.
Iyan tersenyum sembari memeras baju terakhir yang akan ia jemur. "Hai. Naik apa ke sini?"
"Biasa, sama ojol. Kamu belum mandi ya?"
"Enak aja, udah ya. Nih, bau wangi gini."
"Itu idungnya masih."
"Ya emang anda kalau abis mandi idungnya ilang? Kayak Voldemort dong."
"Hahaha. Oh iya, kita beneran ke pantai kan?"
"Kata Ipan si gitu."
Iyan membawa masuk embernya setelah ia selesai menjemur seluruh pakaian dan celananya. Di belakang, Shafa memilih duduk di bangku depan kos. Tak lama kemudian, Iyan ke luar lagi. Kali ini dengan tampilan yang lebih rapi meskipun dengan outfit santai. Lelaki itu duduk di kursi sebelah Shafa.
"Udah akur sama Ipan?"
"Ya gitulah."
"Aku seneng dengernya. Oh iya, di jendela kamu kok ada kertas-kertas gak jelas? Terus ini, kenapa jendelanya bolong?"
Iyan menoleh, kemudian tersenyum simpul. "Nanti aku ceritain ya, gak sekarang tapi. Mau nunggu gak?"
"Jangan lama-lama ya tapi."
"Iya, hehe. Kamu udah resign?"