Ketika Kau Tak Bersama Siapapun

Ayeshalole
Chapter #43

43. Apa yang tak benar-benar terucap

Sebaik apapun ucapan perpisahan, tetap saja menyakitkan. Sebab bagi manusia, perpisahan adalah awal dari rindu yang panjang.

***

"Ipan!!! Kaki gue berdarah!!!"

Ipan dan Iyan menoleh ke asal suara, bahkan sebelum Ipan melontarkan jawaban atas pertanyaan Iyan tadi. Kedua lelaki itu segera berlari menghampiri keberadaan gadisnya. Rima terduduk di tepi pantai dengan satu tangan memegangi telapak kakinya yang berdarah, sedangkan Shafa berjongkok dan mencoba mencari tisu di dalam tas kecil miliknya.

"Kenapa si Rim?"

"Kaki gue huhuhu. Kena beling deh kayaknya, sakit Pan."

Ipan beralih tempat, ke dekat kaki Rima supaya lebih mudah melihat luka gadis itu. "Lagian lo kayak bocah baru diajak jalan-jalan si. Begini kan jadinya. Gue beliin sandal bagus-bagus, lo milih nyeker."

"Ya mana gue tau bakal kena beling! Yaudah dong jangan marahin gue, ish!" ucap Rima sembari cemberut.

"Ini sih besok juga sembuh," ucap Ipan sembari dengan sengaja menyentil pelan luka Rima.

Plak!

Rima menabok pipi Ipan dengan sedikit kencang. "Sakit anjrit!"

"Bang, mending Mbak Rima dipinggirin dulu ke mana kek. Eh itu ada tempat berteduh, dibawa ke sana aja. Biar aku sama Iyan cari plester. Lukanya dibasuh dulu pakai air bersih, terus dilap pakai tisu. Ini tisunya."

"Wah, pinter juga adik ipar. Yaudah, yuk Rim, sini naik."

Ipan berjongkok di hadapan Rima, mengisyaratkan gadis itu untuk naik di punggungnya. Dengan bantuan Shafa dan Iyan, Rima berhasil ada di punggung Ipan sekarang. Kemudian, lelaki itu membawa Rima ke sebuah gubuk kecil dimana ada penjual es kelapa muda di sana.

"Mau cari obat ke mana? Emang kamu tau?"

Shafa terlihat berpikir sejenak, "Kayaknya tadi di depan ada Indoapril deh. Ke sana aja yuk?"

"Oke."

Tanpa permisi, tangan Iyan meraih jemari Shafa. Diselipkan jemari Iyan di antara jemari kecil milik shafa. Gadis itu tersenyum simpul, dan membalas genggaman Iyan seolah keduanya tak mau saling kehilangan.

"Bang Ipan orangnya baik, ternyata."

"Ya gitu. Bentar lagi tahun baru, naik gunung yuk?"

"Hm... Lihat nanti ya."

"Oke. Ini masih lurus kan?"

"Iya masih. Oh iya, kemarin aku udah selesai baca buku kamu. Indah puisinya, aku suka."

"Makasih."

"Aku tertarik sama salah satu puisimu tentang perpisahan."

"Yang mana?"

"Hm, yang gini nih: perpisahan tidak membutuhkan persetujuan siapapun dan apapun. Aku lupa lengkapnya gimana, intinya gitu."

Lihat selengkapnya