Ketika Kau Tak Bersama Siapapun

Ayeshalole
Chapter #44

44. Manusia yang Maha Entah

Dia adalah sebaik-baiknya arah, untuk Manusia yang Maha Entah.

***

Sore itu, gerimis rintih-rintih. Tak cukup deras memang, tetapi cukup untuk menghantarkan kembali duka yang sempat terlupa. Di tengah gerimis, Ipan berdiri dengan pakaian yang belum ganti sejak dua hari lalu setelah ia memutuskan untuk tak pulang ke rumah.

Seperti apa kabar Mamanya?

Apa kabar dengan Iyan?

Bagaimana keadaan mereka?

Ada rasa sesal yang hidup di dalam dada Ipan. Mengakar kuat dan tertanam begitu dalam. Perlahan, kaki Ipan melangkah mendekati rumah sederhana itu. Pintunya tak tertutup rapat, sehingga ia masih mampu melihat ke dalam.

"Ma, jangan nangis terus dong. Iyan ikut sedih lihatnya." Terdengar suara Iyan yang tengah membujuk Mamanya untuk berhenti menangis.

"Mama gak bisa berhenti, sayang. Mama gak bisa kehilangan Papa."

"Sama, Iyan juga kehilangan Papa. Kita semua kehilangan Papa."

"Gak! Cuma kita berdua yang kehilangan Papa, tapi enggak buat Ipan! Enggak buat anak kurang ajar itu!"

Ipan mengepalkan tangannya ketika suara Mamanya menggema di antara suara tangisan. Susah payah Ipan menahan amarah, hingga satu suara membuatnya luruh.

"Kematian gak ada yang tau kapan datangnya Ma, begitu pula kematian Papa. Aku harap Mama mau sama-sama belajar mengikhlaskan."

---

Lagi, sore itu gerimis. Mengiringi pemakaman yang perlahan mulai sepi. Tinggalah Iyan di atas pusaran Mama dan Papanya. Lelaki itu menangis, memeluk erat kedua batu nisan orang tuanya. Membiarkan suara gerimis menyamarkan isak tangis.

Dari kejauhan, Ipan melihatnya. Melihat dengan jelas. Matanya terlukis nyata bahwa kesedihan juga hidup di sana. Rasanya, Ipan ingin berlari dan memeluk Iyan. Menangis sama-sama, kehilangan sama-sama, saling menguatkan satu sama lain. Namun, lagi-lagi ego memeluk erat dirinya. Menyuburkan rasa sesal yang kini tumbuh menjadi pohon besar.

Rasa sesal itu menyala,

dan Ipan tak tau kapan akan padam.

Di sana, Iyan mendongak sembari menyeka air matanya. Matanya tertuju pada Ipan yang bersembunyi di balik pohon. Kedua matanya bertemu... Sama-sama saling menyorotkan rasa sakit. Matanya saling merasa kehilangan.

Iyan bangkit, kemudian mendekat ke arah Ipan. Hingga keduanya saling berhadapan, setelah sekian lama.

"Jangan pernah datang ke hidup gue lagi! Sekarang, yang ada cuma gue sama lo, gak ada kita! Baj*ngan!"

---

Ipan membuka matanya dengan napas terengah-engah. Kilasan masa lalu yang kerap hadir sebagai mimpi buruk, Ipan benci. Bukan, bukan pada masa lalunya, lebih tepatnya ia benci terhadap dirinya sendiri.

Rasa sesal itu masih menyala,

dan Ipan tak tau kapan akan padam.

Ipan melirik Rima yang masih terlelap di sampingnya. Diusapnya puncak kepala gadis itu. Wajahnya begitu damai, seperti seorang bayi yang kelelahan. Kulitnya yang sawo matang membuat Rima terlihat manis. Tangan Ipan menyelipkan rambut yang menutupi sebagian wajah Rima ke belakang telinga.

Rasanya tetap sama, Ipan hanya menganggap Rima sebagai adik. Ipan menyayangi Rima seperti seorang adik. Mungkinkah perasaannya masih untuk Bintang? Ipan tak tau. Kini semuanya terasa abu-abu. Ipan tak bisa mengenali hatinya sendiri.

Ipan bangkit, meskipun masih tengah malam. Ia mencari barang-barang yang kiranya akan berguna untuk Iyan. Dikemasinya barang-barang itu. Mungkin sedikit menimbulkan suara bising, sehingga membuat tidur Rima terganggu. Gadis itu membuka matanya, sayup-sayup melihat Ipan tengah mengemas sesuatu.

Lihat selengkapnya