Pada akhirnya, kita akan membenarkan bahwasannya pengkhianatan hanya bisa dilakukan oleh orang yang kita anggap spesial.
***
Pada pertemuan kita terhadap seseorang, kita tidak tau pada akhirnya kita yang ditinggalkan atau bahkan kita yang meninggalkan. Di sebagian orang, boleh jadi kita adalah orang yang ditinggalkan dan membuat mereka merasakan pahitnya sesal. Sedangkan di sebagian lainnya, kita adalah orang yang meninggalkan dan kita akan merasakan pahitnya sesal.
Nyatanya, Ipan tak bisa kemana-mana. Terkurung di antara kilasan masa lalu. Di antara rasa bersalahnya. Di antara penyesalannya. Di antara ketakutannya. Semuanya menjadi satu. Pada akhirnya, Ipan memilih pergi dan menjadi pengecut sebab melarikan diri.
Kemarin, Ipan mendapat info dari rekannya bahwa pejabat yang pernah menjadi kliennya ditangkap polisi. Kini, polisi tengah mencari keberadaan dirinya. Ipan tak punya pilihan lain, selain sembunyi dan melarikan diri. Dalam hati, ia bertanya:
Tuhan, mengapa semuanya datang dan merusak apa yang telah diharapkan?
Mengapa semuanya terjadi ketika aku baru merasa bahagia?
Mengapa?
Mengapa semuanya mendadak baj*ngan?
Tidak adakah satupun kebahagiaan kekal yang tercipta untukku?
Dalam hatinya, ia memberontak meskipun kakinya tetap melangkah. Kepalanya menunduk, menatap jalanan yang tak rata. Beberapa kali menabrak orang lain, tetapi Ipan memilih abai. Di kepala lelaki itu, ia ingin pulang.
Untuk terakhir kalinya, ia ingin pulang... Dan mengusaikan semuanya.
Belum sempat tangannya menyentuh dan mengetuk pintu di hadapannya, pintu itu sudah terlebih dahulu terbuka. Menampakkan seorang wanita dengan wajah polos khasnya.
"Loh, Ipan?"
Ipan memeluknya, tanpa kata-kata. Bintang terheran, sebab lelaki itu terlihat sedang tidak baik-baik saja. Binta melepas pelukannya, "Masuk aja."
Ipan menurut. Lelaki itu duduk berhadapan dengan Bintang. Seperti seorang Ibu yang hendak memarahi anaknya. "Kenapa?"
"Gue diburu polisi."
Bintang menghela napas, "Harusnya lo udah siap dong?"
"Gue gak akan pernah siap untuk itu, Bi."
"Dari dulu gue ingetin lo soal risiko atas apa yang lo pilih, tapi lo abai seolah gue cuma sok tau. Nyatanya, terjadi kan? Sekarang, lo gak hanya nyakitin dan nyusahin diri lo sendiri, tapi lo juga nyakitin dan nyusahin orang lain."
Ipan menatap mata Bintang, menguncinya untuk tetap di sana. "Gue emang tercipta buat nyakitin dan nyusahin kan?"
"Iya! Dan itu semua lo yang mulai! Lo tau banget Pan, gue gak pernah suka bahas ini."
Ipan menarik Bintang ke dalam pelukannya, membiarkan amarahnya mereda. Membiarkan kepalanya dingin. Membiarkan emosinya stabil. Membiarkan segala hal sedikit lebih baik.