Genggam tanganku, kita berdansa. Bersulang air mata, kita rayakan kehilangan sama-sama.
***
Bagi jiwa-jiwa yang patah, setiap hari selalu sama. Sama-sama tak memiliki harapan. Sama-sama tak memiliki semangat. Sama-sama tercium aroma kekecewaan. Bagi siapapun, tak ada yang siap akan kehilangan. Apapun bentuknya: kematian, pengkhianatan, atau bahkan kenyataan, tak ada yang siap perihal hari itu.
Seseorang yang patah, setiap harinya ia hanya sibuk menata kembali hatinya. Merawat luka-lukanya, mengemas kepingan retakan hatinya, membasuh bekas darahnya. Meskipun setiap harinya tidak ada yang berubah.
Dari kemarin, Iyan tak seperti biasanya. Ia cenderung lebih diam dan tambah bego kalau diajak ngomong. Suka ngelantur dan kadang gak jelas. Bikin kopi pake garam, katanya enak. Udah gitu, dengerin musik dangdut, malah nangis. Yang parahnya lagi, tiba-tiba Iyan membeli produk skincare yang biasa Shafa pakai. Katanya:
"Shafa pasti lagi bercanda, tapi aslinya dia marah. Mungkin gara-gara waktu itu gue pecahin botol serumnya, makanya itu gue beliin skincare baru biar dia bisa maafin gue."
Astaga, sebegitu tidak main-mainnya kehilangan dikehidupan manusia.
Pagi menjelang siang, Iyan sibuk ngopi. Hari ini ia bolos kuliah dan bolos kerja juga. Persetan dengan nilai dan SP, Iyan hanya ingin cari ketenangan. Ia duduk di depan kos, dengan jendela yang semakin penuh oleh kertas dan tulisan-tulisan tak jelas.
Di tengah ritualnya dalam mencari ketenangan dan kedamaian, tiba-tiba Bianca melintas dengan lenggak-lenggok khasnya. "Ih, sekarang Bianca gak suka deh lihat Mas Iyan!"
Sebagai manusia yang tengah patah hati, Iyan hanya menatap Bianca dengan tatapan tak selera. Sedangkan banci itu semakin bicara banyak.
"Ih, bapaknya koruptor. Pantes Bianca miskin mulu. Ternyata duitnya dipake hura-hura huhuhu. Udah gitu, kakaknya pengedar lagi. Ih, biadab."
Kali ini, Iyan benar-benar geram. Sangking geramnya, ia tega menyiram kopi ke arah Bianca. Meskipun sedikit diplesetkan, tetap saja membuat Bianca memekik panjang.
"Awww! Ih, galak. Dahlah, Bianca gak mau pergi ajah!"
Iyan memutar bola matanya dengan malas. Tidak lagi berselera duduk di depan kos, ia hanya ingin tidur sekarang. Belum sempat ia masuk ke dalam kos, tiba-tiba seorang ojol datang dan bertanya.
"Mas, permisi. Mau nanya, apa ada yang namanya Reiyan Pramudya di sini?"
"Saya sendiri."
"Loh, Masnya sendiri? Saya juga sendiri sih, jangan-jangan---"