Ketika kita tak bersama siapapun, segala perasaan menjadi begitu bermakna. Tentang sepi dan sendiri, sebab hidup tak mesti perihal bersama. Di antara yang pergi, apa dan siapa yang tak pernah pergi adalah Ia.
***
Tadinya, kita hanya mengira hidup hanya sebatas tidur, bermimpi, kemudian bangun untuk mewujudkannya. Sebatas datang dan pergi, sebatas berdua dan mendua, kemudian dengan sebatas lainnya lagi.
Namun, tanpa kita sadari, ada bagian hidup yang luput dari definisi kita selama ini yaitu: hidup juga tentang kau dan dirimu sendiri.
Semesta, pasti menyisakan ruang dan waktu untuk kau dan dirimu. Tak ada siapapun, selain kau dan dirimu. Namun, apakah tujuan Tuhan menciptakan kesendirian? Apakah kesendirian cukup membahagiakan bahkan ketika harus ditinggalkan?
Lantas, apa bahagia itu sendiri?
Tertawa?
Aih, kalau hanya tertawa, kau tak perlu susah-susah memilikinya untuk bahagia. Namun kita percaya, bahwa bahagia tak sebatas tertawa saja. Di antara aroma kehilangan yang masih menyeruak di ruang sendiri, ada manusia yang mencoba bangkit. Mencoba keluar dari atmosfir yang pengap. Ia seolah terpojokkan di sudut ruangan.
Suara-suara itu masih terdengar jelas. Bayangannya masih tampak jelas. Bagaimana caranya melambaikan tangan, tersenyum, tertawa, meminta maaf.... Semunya. Percayalah, bahwa kehilangan tidak tidak pernah membuat siapapun baik-baik saja.
Namun, kita semua juga tau, bahwa hidup harus berlalu sebagaimana harusnya, berjalan sebagaimana mestinya, dan waktu akan berputas sebagaimana takdirnya. Jika kita harung tenggelam sebab kehilangan, percayalah, kita juga akab kehilangan yang lainnya.
Hari ini, tepat empat puluh hari Ipan pergi. Namun Iyan masih belum bisa kembali seperti biasanya. Bekerja seperti mesin, kuliah seperti tak ada gairah, bahkan Iyan juga tak menulis. Kehilangan itu benar-benar mengubah Iyan.
Hari itu, tepat ketika liburan akhir tahun, Jovi mengajak Iyan naik gunung. Sebenarnya Jovi ragu apakah Iyan mau atau tidak, tetapi untungnya Iyan mau. Entah ia sadar atau tidak ketika mengiyakan. Sedikit demi sedikit, Iyan sudah bisa diajak berkomunikasi. Jovi harap, selepas naik gunung Iyan bisa kembali seperti dulu lagi.
Perjalanan naik mulus-mulus saja. Cuaca cerah, tak ada hal-hal janggal yang mengganggu perjalanan. Saat itu Iyan satu tim dengan Jovi, Niar, dan Kayla. Sedangkan tim lainnya sudah mendahuluinya.
Iyan berjalan paling belakang, supaya Kayla berada di tengah. Di dalam perjalanan, mereka lebih banyak diam. Menyimpan suaranya untuk bernyanyi di depan tenda nanti malam. Ketika ada di jalan menanjak dan persis sebelah jurang, tiba-tiba Iyan teringat sesuatu:
"Ketika lo berada di ketinggian, pernah gak lo kayak dengar suara yang nyuruh lo untuk lompat?"
Iyan berhenti, kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri. Suara itu terdengar begitu nyata dan jelas.
"Pan?"
Lagi, suara itu terdengar.
"Lo tau, saat ini di telinga gue cuma ada suara yang nyuruh gue buat bunuh diri. Di sisi lain, gue juga sadar kalau gue gak cukup berguna untuk bertahan hidup."
"Ipan?!!"
Mendengar Iyan menyerukan nama Ipan, ketiga temannya berhenti. Kemudian mereka mendekat ke arah Iyan. "Yan?"
Iyan seperti orang bingung. Menoleh ka kanan dan kiri seperti tengah mencari sesuatu. Terakhir, ia menatap ke arah Jovi. "Jop, lo dengerkan? Itu suara Ipan! Ipan ikut ya? Ipan ikut kan?"