Ketika Langit Tak Lagi Batasnya...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #1

Panggung Megah, Jiwa yang Lelah

Sulaman cahaya ungu, biru, dan emas memandikan panggung raksasa itu, menyorot satu sosok yang berdiri menjulang di tengahnya. Aruna Candrakirana, dalam balutan gaun perak yang memeluk lekuk tubuhnya yang masih terjaga kencang di usia empat puluh satu, mengangkat mikrofonnya. Detik itu, riuh rendah puluhan ribu penonton yang memadati stadion berubah menjadi senyap yang tegang, penuh antisipasi. Hanya suara angin malam yang sesekali berdesir melalui konstruksi baja di atas mereka yang terdengar, seolah alam pun ikut menahan napas.

Suara Ara, serak khasnya yang legendaris, mengalun. Bukan ledakan nada tinggi yang pertama keluar, melainkan bisikan penuh perasaan, merayap lembut ke setiap telinga, menyentuh langsung ke relung hati. Lagu balada yang dibawakannya adalah salah satu hits terbesarnya dari satu dekade lalu, sebuah lagu tentang kehilangan dan harapan yang tak pernah lekang oleh waktu. Matanya terpejam sejenak, meresapi setiap kata, setiap melodi. Di bawah sana, lautan manusia bergoyang pelan, banyak yang ikut menyenandungkan liriknya, beberapa wajah basah oleh air mata. Inilah dunianya. Inilah panggung di mana ia adalah ratu.

Selama hampir tiga jam, Ara membius. Energi seolah tak ada habisnya, mengalir dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia menari, ia tertawa, ia berinteraksi dengan penonton, ia berganti kostum beberapa kali—dari gaun glamor hingga setelan kasual yang tetap memancarkan aura bintang. Setiap geraknya adalah presisi, setiap senyumnya adalah magnet. Ia adalah definisi sempurna dari seorang entertainer kelas wahid, buah dari lebih dua dekade menempa diri di industri yang kejam, tetapi juga memberinya segalanya.

Namun, saat lagu terakhir—sebuah anthem penuh semangat yang membuat seluruh stadion bergemuruh—berakhir, dan ia membungkuk dalam, menerima tepuk tangan yang membahana laksana guntur, ada sekelebat rasa yang tak bisa ditangkap oleh kamera mana pun. Sebuah kedipan mata yang terlalu cepat, tarikan napas yang sedikit lebih dalam dari biasanya. Itu bukan kelelahan fisik semata. Itu sesuatu yang lebih mengakar.

Di belakang panggung, suasana kontras menyeruak. Hiruk pikuk tim manajemen, kru panggung, penata rias, dan penata busana bergerak cepat. Ucapan selamat bersahutan. Ara, masih dengan napas sedikit terengah, menerima handuk kecil dan sebotol air mineral. Senyum profesional masih terpasang, tapi sorot matanya mulai meredup.

"Luar biasa, Ara! Energi kamu malam ini benar-benar pecah!" seru Ranti, manajernya yang telah mendampinginya selama lima belas tahun terakhir. Ranti, wanita seumuran Ara dengan potongan rambut bob praktis dan kacamata berbingkai tebal, menepuk bahunya bangga.

Ara hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Ran. Berkat kerja keras semua tim juga." Suaranya terdengar sedikit serak, bukan hanya karena bernyanyi.

Perjalanan menuju dressing room pribadinya terasa seperti melewati labirin manusia. Beberapa permintaan foto dadakan dari sponsor, sapaan dari kolega artis yang menonton, semua ia layani dengan profesionalisme yang sama. Tapi pikirannya sudah melayang. Bukan pada gemuruh pujian, bukan pada angka penjualan tiket yang fantastis. Pikirannya melayang pada kesunyian yang akan segera menyambutnya.

Akhirnya, pintu kayu bertuliskan "ARUNA CANDRAKIRANA – PRIVATE" itu tertutup di belakangnya. Hanya ia seorang diri. Ia menyandarkan punggungnya sejenak ke pintu, memejamkan mata. Suara dengungan ribuan orang masih terngiang di telinganya, tetapi kini mulai memudar, digantikan oleh kesunyian yang memekakkan.

Ia berjalan perlahan menuju meja rias besar yang dikelilingi lampu-lampu bohlam. Cermin itu memantulkan sosok wanita yang sama yang dipuja jutaan orang beberapa menit lalu. Tapi Ara melihat lebih. Ia melihat garis-garis halus di sekitar matanya yang tak bisa sepenuhnya ditutupi makeup tebal. Ia melihat seutas rambut putih yang mulai menyembul di antara surai hitam legamnya, yang selalu berhasil disamarkan oleh penata rambutnya. Ia melihat kelelahan yang tak bisa dihapus oleh kilau gaun perak.

Lihat selengkapnya