Ketika Langit Tak Lagi Batasnya...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #2

Kompatibilitas

Kompatibilitas. Itu kata yang sering ia renungkan akhir-akhir ini. Bukan hanya kecocokan selera musik atau film. Tapi kompatibilitas jiwa. Saling memahami tanpa perlu banyak kata. Saling mendukung tanpa pamrih. Saling menerima, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang tak terelakkan. Apakah itu terlalu muluk untuk diminta?

Di usianya yang sekarang, ia tak lagi mencari Pangeran Berkuda Putih seperti dalam dongeng. Ia juga tak butuh lelaki yang lebih kaya atau lebih terkenal darinya; itu justru seringkali menjadi sumber masalah baru, persaingan terselubung yang melelahkan. Ia hanya ingin partner. Seorang teman hidup. Seseorang yang bisa diajaknya tertawa lepas tanpa jaim, seseorang yang bahunya cukup kuat untuk ia bersandar ketika dunia terasa terlalu berat, dan sebaliknya, ia pun ingin menjadi tempat berteduh yang sama bagi orang itu.

Ara menghela napas panjang, lalu berbalik dari jendela. Ia meraih ponselnya lagi, kali ini membuka aplikasi pesan singkat. Ada pesan dari Ranti.

"Hotel sudah aman. Media nggak ada yang bisa tembus. Kamu bisa istirahat. Besok jam 10 pagi kita bahas jadwal rilis single baru ya."

Ara mengetik balasan singkat: "Oke, Ran. Thanks."

Ia menatap lagi bayangannya di cermin. Wanita di sana tampak lebih rapuh sekarang, tanpa sorot lampu panggung yang menyamarkan segalanya. Tapi di matanya, ada sebersit tekad. Lelah, ya. Hampa, kadang-kadang. Tapi menyerah? Tidak. Aruna Candrakirana tidak pernah diajarkan untuk menyerah.

Mungkin, pikirnya, mungkin di luar sana, di antara tujuh miliar manusia, ada satu jiwa yang juga sedang mencari. Satu jiwa yang frekuensinya sama. Satu jiwa yang tidak akan lari melihat bentengnya, melainkan dengan sabar mencari gerbangnya, atau bahkan, membantu Ara menemukan kunci gerbang itu yang mungkin telah lama ia lupakan di mana disimpannya.

Pikiran itu memberinya sedikit kehangatan. Sedikit harapan. Cukup untuk membuatnya melangkah menuju kamar mandi, membersihkan diri dari sisa-sisa kemegahan panggung, dan mempersiapkan diri untuk menyambut hari esok. Hari esok yang mungkin saja, entah bagaimana caranya, akan membawanya lebih dekat pada apa yang sesungguhnya dirindukan hatinya. Bukan tepuk tangan lagi, bukan piala lagi. Tapi sebuah genggaman tangan yang tulus, di tengah riuh dan sunyinya kehidupan. Sebuah tempat di mana jiwanya yang lelah akhirnya bisa benar-benar berpulang.

Ia mematikan lampu utama dressing room, menyisakan satu lampu meja yang berpendar temaram. Dalam remang cahaya itu, Aruna Candrakirana, sang diva, untuk sementara menghilang. Yang tersisa hanyalah Ara, seorang wanita yang merindukan koneksi sejati, di tengah panggung megah hidupnya yang terkadang terasa begitu sepi.

Ara keluar dari kamar mandi satu jam kemudian, tubuhnya terasa lebih segar setelah berendam air hangat dengan aroma lavender. Rambut hitamnya yang basah tergerai di punggung, dibalut handuk tebal. Ia mengenakan piyama sutra berwarna gading, pakaian ternyamannya yang kontras dengan kostum panggungnya yang serba berkilau. Ruangan itu masih sunyi. Ia melirik jam digital di nakas. Hampir pukul dua pagi.

Ia berjalan menuju minibar, bukan untuk mengambil minuman beralkohol seperti yang mungkin dibayangkan banyak orang tentang seorang bintang rock pasca konser. Ia mengambil sebotol air mineral dingin dan sekotak kecil cokelat hitam kesukaannya. Manis pahit yang pas, seperti hidupnya.

Sambil mengunyah sepotong cokelat, Ara membuka laptopnya. Bukan untuk memeriksa surel pekerjaan atau media sosial. Ia membuka folder berisi draf-draf lagu yang belum rampung, melodi-melodi mentah yang sering datang di saat-saat tak terduga. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, bukan mengetik lirik, melainkan memainkan beberapa progresi akor pada software musik. Ini adalah pelariannya yang lain. Mencipta. Di sini ia bisa menjadi dirinya sendiri, menuangkan segala resah dan harap tanpa filter.

Beberapa melodi terdengar sendu, mencerminkan suasana hatinya malam ini. Ada juga yang bernuansa optimistis, seolah jiwanya yang terdalam menolak untuk menyerah pada kekosongan. Ia sering bertanya-tanya, apakah penikmat musiknya benar-benar bisa merasakan apa yang ia coba sampaikan di balik lirik-lirik puitis dan aransemen megah itu? Ataukah mereka hanya menikmati permukaannya saja, keindahan melodinya, kemerduan suaranya?

Dulu, di awal-awal hubungannya dengan beberapa pria, ia seringkali memainkan lagu-lagu ciptaannya yang paling personal. Berharap mereka bisa "mendengar" lebih dari sekadar nada. Berharap ada percik pemahaman. tapi, yang sering ia dapatkan adalah pujian standar, "Lagunya bagus, Ra. Pasti jadi hits lagi nih." Atau lebih parah, "Hmm, aransemennya bisa lebih grande lagi nggak sih? Biar pas sama kelas kamu."

Lihat selengkapnya