Jauh dari gemerlap stadion megah dan kilatan lampu blitz yang semalam memeluk Aruna Candrakirana, sebuah apartemen sederhana di sudut selatan Jakarta menjadi saksi bisu dimulainya hari yang baru. Sinar matahari pagi, yang berhasil menyusup melalui celah tirai berwarna kelabu, jatuh tepat di atas tumpukan buku dan naskah drama yang berserakan di meja kayu jati tua. Di sampingnya, secangkir teh hijau yang isinya tinggal seperempat tampak sudah mendingin. Di sofa yang juga berwarna kelabu, terbaring Bima Angkasa, masih terlelap dengan dengkuran halus.
Tidak ada kemewahan yang mencolok di apartemen dua kamar itu. Dindingnya dihiasi beberapa poster film independen klasik, sebuah lukisan abstrak karya temannya yang belum punya nama, dan rak buku tinggi yang penuh sesak, isinya mulai dari novel sastra, biografi tokoh-tokoh inspiratif, hingga buku-buku teori akting. Semuanya mencerminkan kepribadian penghuninya: seorang pria berusia tiga puluh dua tahun yang menghargai substansi di atas penampilan, kedalaman di atas popularitas semata.
Bima menggeliat pelan, matanya mengerjap menyesuaikan diri dengan cahaya. Ia meraih ponsel di meja kecil samping sofa, melihat jam. Pukul setengah delapan pagi. Semalam ia begadang, bukan untuk berpesta, melainkan untuk menelaah naskah film terbarunya, sebuah peran pendukung, tetapi dengan karakter yang kompleks dan menantang. Baginya, ukuran peran tak pernah menjadi masalah utama. Yang penting adalah bagaimana peran itu bisa memberinya ruang untuk bereksplorasi, untuk menggali sisi lain dari kemanusiaannya.
Setelah ritual pagi sederhana—mencuci muka, menyikat gigi, dan menyeduh secangkir kopi hitam pekat—Bima duduk di balkon kecilnya yang menghadap ke hiruk pikuk jalanan Jakarta yang mulai menggeliat. Udara pagi masih terasa segar, meski polusi kota sudah mulai terasa tipis di hidung. Ia membuka sebuah buku filsafat Stoikisme, salah satu bacaan favoritnya belakangan ini. Mencari ketenangan dan kebijaksanaan di tengah industri hiburan yang seringkali terasa seperti roller coaster emosi.
Bima Angkasa. Namanya mulai dikenal luas dalam lima tahun terakhir. Beberapa film yang dibintanginya berhasil meraih sukses komersial dan pujian kritikus. Wajahnya yang fotogenik dengan sorot mata teduh, tetapi tajam sering wara-wiri di majalah dan program televisi. Ia memiliki basis penggemar yang loyal, yang menghargai bakat aktingnya yang alami dan kepribadiannya yang terkesan rendah hati. Cukup terkenal, ya. Cukup mapan untuk hidup nyaman, tentu saja. Tapi ia sadar, ia belum berada di liga Aruna Candrakirana.
Aruna. Nama itu kadang melintas di benaknya, terutama setelah pertemuan singkat mereka beberapa bulan lalu di sebuah acara talkshow. Ia ingat betul bagaimana wanita itu, yang dari jauh tampak begitu agung dan tak tersentuh, ternyata memiliki tawa yang renyah dan pertanyaan-pertanyaan cerdas saat mereka berbincang singkat di belakang panggung. Ada kerapuhan yang sekilas tertangkap di matanya, sesuatu yang membuat Bima merasa bahwa di balik citra divanya, ada manusia biasa yang mungkin juga merasakan hal-hal yang ia rasakan.
Bima tak pernah punya ambisi untuk menjadi "bintang paling terang". Julukan "Bintang yang Bersinar Redup" yang pernah disematkan oleh seorang jurnalis senior dalam sebuah ulasan filmnya justru terasa lebih pas untuknya. Redup bukan berarti tak bercahaya, melainkan cahayanya tak menyilaukan, meneduhkan, dan mengajak orang untuk melihat lebih dekat, lebih dalam. Ia ingin dikenal karena karyanya, karena kualitas aktingnya, bukan karena sensasi atau kehidupan pribadinya yang diekspos habis-habisan.
Prinsip inilah yang membuatnya seringkali menolak tawaran-tawaran menggiurkan yang tidak sejalan dengan idealismenya. Ia pernah menolak menjadi model iklan produk yang ia sendiri tak percaya khasiatnya meski honornya selangit. Ia juga pernah mundur dari proyek film besar karena merasa skenarionya dangkal dan hanya menjual sensualitas murahan. Keputusan-keputusan seperti itu kadang membuatnya berselisih paham dengan manajernya, Doni, yang lebih pragmatis.
"Bim, kamu tuh punya potensi jadi superstar! Kenapa sih milih-milih banget?" protes Doni suatu kali.
"Aku mau jadi aktor, Don. Bukan cuma jadi selebriti," jawab Bima tenang. "Aku mau tidur nyenyak setiap malam, tahu kalau apa yang aku kerjakan itu punya arti, setidaknya buat diriku sendiri."
Keraguan diri? Tentu saja ada. Siapa yang tidak pernah merasakannya? Terutama di industri yang penuh persaingan dan standar kesempurnaan yang tak realistis. Kadang, saat melihat aktor-aktor lain yang lebih muda darinya sudah mencapai popularitas global, atau aktor seangkatannya yang portofolionya lebih mentereng, ada bisikan kecil di hatinya. "Apakah aku sudah cukup baik? Apakah jalan yang kupilih ini benar?"
Namun, ia selalu berhasil membungkam bisikan itu dengan kembali pada esensi. Pada kecintaannya terhadap seni peran. Pada kepuasan yang ia rasakan saat berhasil menghidupkan sebuah karakter, menyampaikan emosi yang kompleks, dan membuat penonton merenung. Baginya, itu lebih berharga dari piala penghargaan atau jumlah pengikut di media sosial.
Dalam hal hubungan, Bima juga memiliki pandangan yang serupa. Ia mendambakan hubungan yang didasari rasa saling menghargai dan pengertian. Bukan sekadar ketertarikan fisik atau status. Ia pernah menjalin hubungan serius dengan seorang penulis skenario beberapa tahun lalu. Hubungan yang awalnya terasa begitu "nyambung", tetapi akhirnya kandas karena perbedaan visi tentang masa depan dan tekanan dari luar. Mantan kekasihnya itu tak sanggup menghadapi sorotan publik yang mulai mengarah pada Bima, sementara Bima sendiri merasa belum siap untuk "mempertontonkan" hubungan pribadinya demi konsumsi media.
Sejak itu, ia lebih berhati-hati. Ia merindukan seorang partner yang bisa menjadi teman diskusi yang sepadan, yang memahami pasang surut profesinya, tetapi juga bisa menariknya kembali ke "bumi" saat ia terlalu larut dalam dunianya. Seseorang yang bisa melihat Bima apa adanya, bukan Bima Angkasa sang aktor. Seseorang yang bersamanya, ia tak perlu berpura-pura atau memakai topeng.
Ponselnya yang tergeletak di meja berdering nyaring, membuyarkan lamunannya. Nama Doni tertera di layar. Dengan sedikit enggan, Bima mengangkatnya.
"Pagi, Don. Ada apa?"
"Pagi, Bim! Kamu lagi sibuk nggak? Ada berita super penting nih!" suara Doni di seberang terdengar antusias luar biasa, kontras dengan nada bicara Bima yang santai.
"Lagi santai aja. Berita apa?"
"Duduk dulu deh, Bim. Atau pegangan apa gitu. Soalnya ini bakal bikin kamu kaget."
Bima tersenyum tipis. Doni memang suka berlebihan. "Iya, iya. Aku udah duduk. Ada apa sih?"