Ketika Langit Tak Lagi Batasnya...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #4

Pertemuan Pertama yang Menggugah

Dua hari setelah telepon dari Ranti yang membawa kabar mengejutkan itu, Aruna Candrakirana menemukan dirinya di lobi sebuah rumah produksi ternama di kawasan Kemang. Udara Selasa siang itu terasa gerah, khas Jakarta yang tak pernah lelah berdenyut. Ara datang tepat waktu, pukul dua kurang lima menit, didampingi Ranti. Ia memilih pakaian yang terkesan profesional, tetapi tetap elegan: blus sifon berwarna broken white dipadukan dengan celana palazzo hitam dan sepatu hak rendah. Riasannya tipis, menonjolkan kecantikan alaminya yang matang. Ia ingin pertemuan ini fokus pada diskusi substansial, bukan pada citra divanya.

Di dalam mobil tadi, Ranti sempat memberinya semangat. "Ingat, Ra, kamu Aruna Candrakirana. Mereka yang butuh kamu. Jadi, santai saja, jadi dirimu sendiri."

Ara hanya tersenyum tipis. Justru karena ia Aruna Candrakirana, ekspektasi selalu lebih tinggi. "Jadi diriku sendiri" pun terkadang terasa seperti sebuah peran yang harus dimainkan dengan sempurna.

Saat mereka diantar menuju ruang rapat di lantai dua, jantung Ara berdegup sedikit lebih kencang dari biasanya. Bukan karena gugup akan bertemu sutradara sekelas Adi Pratama atau para produser. Ia sudah terbiasa dengan pertemuan semacam ini. Yang membuatnya sedikit berbeda kali ini adalah kesadaran bahwa ia akan bertemu Bima Angkasa dalam konteks yang lebih formal dan intens. Pertemuan singkat mereka di belakang panggung beberapa bulan lalu terasa seperti sebuah prolog yang tak disengaja. Kini, babak utamanya akan dimulai.

Ruang rapat itu tidak terlalu besar, tetapi didesain dengan interior modern minimalis yang nyaman. Adi Pratama, sutradara berperawakan santai dengan kemeja flanel khasnya, sudah duduk di salah satu sisi meja panjang, ditemani dua orang produser—Pak Herman yang kebapakan dan Ibu Dian yang tampak cerdas dan dinamis.

Dan di sana, di seberang Adi, duduk Bima Angkasa.

Bima datang lima belas menit lebih awal, ditemani Doni, manajernya. Ia mengenakan kemeja linen biru langit yang lengannya digulung hingga siku, dipadukan dengan celana chino berwarna khaki. Penampilannya sederhana, tetapi rapi, memancarkan aura tenang dan serius. Saat Ara dan Ranti masuk, Bima bangkit berdiri, diikuti oleh yang lain.

"Mbak Ara, selamat siang. Terima kasih sudah datang," sapa Adi dengan senyum ramahnya yang khas, menjabat tangan Ara.

"Selamat siang, Mas Adi. Saya yang terima kasih atas undangannya," balas Ara, membalas senyuman itu.

Setelah bersalaman dengan para produser dan Ranti bertukar sapa dengan Doni, pandangan Ara akhirnya bertemu dengan Bima.

"Bima, apa kabar?" sapa Ara lebih dulu, suaranya terdengar natural dan hangat.

Bima sedikit terkejut Ara menyapanya lebih dulu dengan akrab. "Baik, Mbak Ara. Senang bertemu Mbak lagi," jawabnya, ada sedikit nada formal, tetapi tetap ramah. Ia mengulurkan tangan, dan Ara menyambutnya. Jabat tangan mereka singkat, tapi terasa mantap. Ara bisa merasakan sedikit kegugupan dari Bima, tapi juga ada ketulusan di sorot matanya yang teduh itu.

Sesuatu tentang Bima memang berbeda, Ara mengakui dalam hati. Di antara banyak pria yang pernah ia temui di industri ini, yang seringkali berusaha terlalu keras untuk tampil memukau atau justru terlalu minder di hadapannya, Bima terasa ... seimbang. Ada ketenangan yang memancar darinya, sebuah integritas yang tak dibuat-buat.

Lihat selengkapnya