Ketika Langit Tak Lagi Batasnya...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #5

Benih-benih Ketidakserasian

Minggu pertama sesi reading dan workshop untuk "Simfoni Senja" berjalan lancar, bahkan melebihi ekspektasi. Di ruang latihan yang disewa khusus, jauh dari hiruk pikuk kantor produksi, Aruna dan Bima, di bawah arahan intensif Adi Pratama, mulai menjelajahi kedalaman karakter Elara dan Arya. Ada semacam keajaiban yang terjadi ketika mereka berdua larut dalam dialog. Ara, dengan pengalamannya yang matang, mampu mengeluarkan berbagai nuansa emosi Elara—dari diva yang angkuh dan rapuh, hingga perempuan biasa yang mendambakan ketulusan. Bima, di sisi lain, mengejutkan semua orang dengan kemampuannya menyelami sisi introvert Arya, menyampaikan pergulatan batinnya dengan tatapan mata dan gestur minimalis, tapi penuh makna.

Adi Pratama seringkali tersenyum puas. "Itu dia! Energi kalian berdua pas sekali!" serunya setelah satu sesi latihan adegan pertengkaran yang intens, tapi diakhiri dengan pemahaman diam-diam antara Elara dan Arya.

Ara sendiri merasa nyaman bekerja dengan Bima. Pria itu profesional, selalu datang tepat waktu, siap dengan pendalaman naskahnya, dan yang terpenting, ia pendengar yang baik. Ia tidak berusaha menyaingi Ara, melainkan membangun dialog, memberikan ruang, dan merespons dengan sensitif. Ada rasa saling menghargai yang tulus di antara mereka, fondasi penting untuk kolaborasi kreatif yang sehat.

Namun, dunia di luar ruang latihan itu mulai berbisik.

Semuanya dimulai dari sebuah foto paparazzi yang buram, menangkap momen ketika Ara dan Bima—bersama Adi dan beberapa kru inti—sedang makan siang di sebuah kafe dekat lokasi workshop. Judul berita di sebuah portal gosip daring keesokan harinya cukup provokatif: "Aruna Candrakirana dan Bima Angkasa Terlihat Mesra di Tengah Proyek Film Baru?"

"Makan siang kerja dibilang mesra," gumam Ara datar saat Ranti menunjukkan berita itu padanya di sela-sela jadwal paginya. Ia sudah kenyang dengan bumbu-bumbu semacam ini. "Mereka kehabisan bahan berita sepertinya."

Ranti menghela napas. "Biasa, Ra. Nama kalian berdua lagi naik. Apalagi dipasangkan di film drama romantis. Publik pasti penasaran."

Namun, berita itu hanyalah pemicu. Tak lama kemudian, forum-forum diskusi daring dan kolom komentar media sosial mulai ramai. Benih-benih ketidaksesuaian—setidaknya menurut standar dunia—mulai disebar dan disemai dengan antusias oleh para netizen.

"Bima Angkasa kan lebih muda dari Ara? Beda usianya berapa sih? Kayak tante sama ponakan nggak sih ntar di film?" tulis seorang anonim.

"Ara kan kaya raya, udah legend. Bima emang oke sih, tapi levelnya masih jauh lah. Jangan-jangan cuma numpang tenar?" timpal yang lain.

Ada pula yang lebih kejam, mengungkit masa lalu Ara. "Hati-hati Bima, jangan sampai kena skandal juga kayak dulu. Rekam jejak penting lho."

Bima pertama kali mengetahui riuhnya komentar-komentar itu dari Doni. Sore itu, setelah sesi latihan yang cukup menguras energi, Doni meneleponnya dengan nada sedikit khawatir.

Lihat selengkapnya