Beberapa hari setelah insiden di restoran Jepang itu, suasana di ruang latihan terasa sedikit berbeda. Bima, meski berusaha tampil profesional, tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegelisahan yang membayanginya. Ia menjadi lebih pendiam, lebih menjaga jarak, seolah takut setiap interaksinya dengan Ara akan menjadi bahan bakar baru bagi gosip yang beredar. Senyumnya terasa dipaksakan, dan sorot matanya yang biasanya teduh kini lebih sering menunduk, terfokus pada naskah di tangannya.
Aruna menyadari perubahan itu dengan jelas. Hatinya mencelos. Ia sudah terlalu sering melihat pola ini: pria yang awalnya tampak menjanjikan, perlahan-lahan termakan oleh tekanan dan persepsi publik, lalu mundur teratur. Apakah Bima akan menjadi satu lagi dalam daftar panjang kekecewaan itu? Sebagian dari dirinya ingin bersikap tak acuh, kembali memasang bentengnya tinggi-tinggi. Namun, ada bagian lain yang merasa ini tidak adil, baik bagi Bima maupun bagi proyek film yang mulai ia sayangi ini. Ada sesuatu dalam diri Bima yang membuatnya enggan menyerah begitu saja.
Siang itu, setelah sesi latihan yang terasa agak alot karena energi Bima yang tidak lepas, Adi Pratama mengakhiri latihan lebih awal. "Kalian berdua butuh istirahat," katanya, menatap Ara dan Bima bergantian dengan tatapan penuh pengertian. "Besok kita lanjutkan lagi. Saya mau energi kalian kembali segar."
Setelah Adi dan kru lainnya meninggalkan ruangan, Ara dan Bima tertinggal berdua dalam keheningan yang canggung. Bima mulai membereskan barang-barangnya dengan tergesa, seolah ingin segera melarikan diri.
"Bima," panggil Ara lembut, suaranya memecah kesunyian.
Bima berhenti, menoleh pada Ara. "Ya, Mbak Ara?"
"Kamu baik-baik saja?" tanya Ara langsung, menatapnya lekat.
Bima terdiam sejenak, tampak ragu. "Saya ... iya, saya baik-baik saja, Mbak. Mungkin cuma sedikit lelah."
Ara tersenyum tipis, senyum yang tak mencapai matanya. "Lelah karena latihan, atau lelah karena hal lain?"
Pertanyaan itu tepat sasaran. Bima menghela napas panjang, lalu memberanikan diri menatap Ara. "Saya minta maaf kalau penampilan saya beberapa hari ini kurang maksimal, Mbak. Saya ... saya sedikit terganggu dengan berita-berita di luar."
Ara mengangguk pelan. "Aku mengerti." Ia berjalan mendekat, lalu duduk di salah satu kursi lipat yang ada di sana. "Dunia hiburan memang seperti itu, Bima. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk setiap sorotan. Kadang harganya terlalu mahal."
"Saya tidak masalah dengan sorotan pada diri saya, Mbak," kata Bima pelan, kini ia berani menatap mata Ara. "Tapi saya tidak nyaman kalau itu menyeret nama Mbak, atau membuat orang salah paham tentang proyek kita, tentang ... kita."